Bertani itu sungguh menguntungkan. Betapa tidak, sebagai contoh menanam sebutir padi, bisa tumbuh tujuh bulir. Setiap Bulir bila ada seratus biji maka akan ada 700 biji. Kalau menanam padi memakai model yang lebih baru, sebutir padi bisa tumbuh 30 bulir, bahkan katanya bisa 40 bulir. setiap bulir seratus biji, berarti keuntungan menanam padi sungguh berlipat-lipat.
Tanaman padi mengering di daerah magelang karena tidak dapat pasokan air. foto diambil september 2015 |
Ada cerita bahwa jaman dahulu nenek moyang itu sudah panen padi bahkan ketika panenan yang lalu belum habis. Padahal padi di tanam setahun sekali. Sehingga mereka memiliki kapasitas dan daya dukung untuk membangun lumbung, membuat grobok untuk menandu jagung, ketela, padi dan membuat semacam rak di atas tungku untuk menaruh hasil panenan. Secara matematis bertani itu sangat menguntungkan.
Jaman saya kecil sering menghabiskan hari-hari di sungai kecil di sekitar sawah atau depan rumah. aliran sungai dibendung atau dibelokkan ke sawah, ketika air surut bisa dengan mudah ditangkap ikan kotes, udang, ikan uceng, ikan tawes, lele, dan kadang juga keong. Kalau mau sedikit usaha keras, belut bisa ditemukan di hamparan sawah berlumpur dengan mudah. kadang belut besarnya sampai sebesar jempol kaki. Di bakar lalu di sambal dengan tempe busuk, cocok untuk sarapan pagi sebelum berangkat sekolah. DI beberapa kesempatan tetangga kadang sampai menjual ikan dari sungai karena tidak habis dimakan sendiri. Tidak khawatir tentang ketersediaan pangan.
Lantas, mengapa kini banyak petani miskin dan perlu dilindungi?
Siapa saja yang menghasilkan produk atau barang, baik pabrik, penyedia jasa, dan lain sebagainya, dialah yang menentukan harga jualnya. Tetapi tidak dengan petani. Intervensi pemerintah dalam menentukan harga dasar gabah misalnya, telah menghilangkan kedaulatan petani untuk menentukan harga. Bagaimana bisa unsur yang tidak terlibat dalam proses penyiapan lahan, proses produksi dan penanaman, proses pengolahan setelah panen, tiba-tiba punya kuasa menentukan harga? Aspek politik kental sekali disini dan tentu saja nyaris tidak ada keuntungan dari aspek ini untuk petani.
Kadang juga dengan pajaknya semisal produk tembakau, sehingga lagi-lagi petani tidak memperoleh keuntungan. Selain petani tidak bisa menentukan harga jual tembakau, petani juga tertekan dengan cukai tembakau yang kadang menjadi dalih untuk menurunkan harga beli dari petani. Padahal nyatanya pajak diinklud kan dalam harga jual rokok sehingga sesungguhnya pemakai atau konsumenlah yang membayar pajak cukai tembakau. Perusahaan hanya mengumpulkan saja. Petani tetap miskin dan pengusaha rokoknya nyaman menduduki jajaran orang terkaya di Indonesia. Tembakau memang bukan produk pangan, tetapi kadang petani tembakau memperoleh hasil besar yang bisa untuk membuat rumah, bayar kuliah anaknya, dan kebutuhan besar lain dari bertanam tembakau. Aspek sosial petani ada di tembakau.
Pada tahun 2015 ini anggaran penyertaan pemerintah untuk beberrapa BUMN mencapai Rp. 37,2 Triliun dari usulan presiden pada kisaran Rp. 48 triliun. Bandingkan dengan anggaran untuk petani melalui kementrian pertanian yang tahun 2015 ini ada di kisaran Rp 32 triliun. Padahal Petani Indonesia jumlahnya lebih dari 40% penduduk Indonesia, dibandingkan dengan BUMN yang mendapat kucuran dana. Ini sungguh tragis. Jadi mengapa petani Indonesia miskin dan belum lepas dari lingkaran siklus kemiskinan mulai terkuak jawabannya dari alokasi anggaran.
Di saat yang sama petani Indonesia dituntut untuk senantiasa berkomitmen menjaga ketersediaan pangan untuk bangsa dengan ancaman kalau tidak tercukupi pemerintah akan membuka kran import. Kalau gagal panen masih di tuduh tidak mau memperhatikan musim dan varitas unggul. Kalau kekurangana air irigasi tidak akan diprioritaskan dan didahulukan menambal jalan pantura atau mengebut jalan tol. Sementara petani tidak boleh libur barang semusim pun untuk terus menanam. Fakir miskin dan anak terlantar katanya dipelihara negara. Faktanya BUMN justru menghabiskan anggaran negara sementara anak petani miskin dan anak terlantar masih tetap terlantar bahkan ketika telah melahirkan anak mereka.
Masyarakat desa mungkin akan berbangga dan memiliki harapan baru ketika ada kementrian desa serta alokasi dana desa. Jika per desa rata-rata 1 milyard, maka akan ketemu angka di kisaran Rp 9 Triliun. Angka itu masih lebih rendah dari pendapatan Negara dari cukai tembakau. Artinya porsi terhadap APBN cukup kecil. Dengan kata lain harusnya alokasi rata-rata 1 milyard per desa tidak akan mengalami kesulitan. Namun kenyataannya tidak semudah membalik telapak tangan. Berbagai kendala birokrasi terjadi yang pada intinya dana desa menjadi tersumbat dan kesulitan untuk cair. Dalam beberapa kesempatan desa dituding tidak siap dengan alas an SDM dan lain sebagainya. Kemana PMD selama ini?
Desa dipaksa bekerja dengan alokasi untuk apa operasional tidak boleh lebih dari 30%. Dituduh tidak siap secara SDM tetapi tidak ada alokasi khusus untuk pengembangan SDM pemerintah dan aparatur desa, sementara di APBN alokasi untuk belanja kementrian Negara /lembaga mencapai 32%, Belanja lainnya 9%. Bagaimana masyarakat desa bisa keluar dari siklus kemiskinan?
Dan yang menjebak petani pada siklus kemiskinan tak kunjung berakhir adalah nilai tukar petani [NTP] yang rendah. Indeks harga yang diterima petani [IT] jauh lebih rendah dari Indeks harga yang dibayar petani [IB]. komoditas berlimpah yang dihasilkan petani tidak bisa menutup kebutuhan yang harus dipenuhi petani. Bukan karena produk petani tidak ada, namun karena petani tidak bisa menentukan harga jual atas komoditasnya. Lebih-lebih ketika harga pangan naik sedikit saja kemudian ditiupkan isu kelangkaan pasokan sehingga ujung-ujungnya import pangan. Petani di paksa miskin ditengah hasil panen yang dimilikinya. Anak petani kemudian malu menjadi petani, karena dipandang tidak menjanjikan masa depan. Ketersediaan pangan bangsa ini di bawah ancaman. Petani perlu dilindungi.
mujab: pegiat advokasi sppqt
0 komentar :
Posting Komentar