Jurnal
Oleh: Arif Burhan
Sumber: Marcus J. Kurtz dalam Noer hal 21
Sebelum beranjak terlalu jauh turun dalam penelitian penulis ingin memperkenalkan beberapa actor yang terlibat dalam sengketa tanah HGU di tanah sengketa Salib Putih. Adapun actor yang terlibat terdiri dari tiga elemen utama yaitu:
b. Strategi Press release
Landsberger H.AL & Alexandrov Y.G. 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial (Ed.). Jakarta: CV Rajawali.
Oleh: Arif Burhan
Sesungguhnya Tuhan hanya memberi "hak pakai" atas tanah kepada manusia, dan bukan "hak milik", karena itu "orang pertama yang meletakkan tangannya pada sebidang tanah dan mengatakan, ini milikku, adalah pencuri pertama!"
(Hassan Hanafi: 94 dalam Gerbang Vol. IX, hal.33)
Latar Belakang Masalah
Munculnya permasalahan keagrariaan di Indonesia sepertinya telah menjadi dongeng yang diwariskan secara turun temurun. Meskipun jika dilihat potensi wilayah, negara ini menyimpan kekayaan agraria yang melimpah. Yang jadi pertanyaan kemudian, mengapa kondisi tersebut justru membawa prahara bagi para petani dan penduduk lokal (pribumi)?
Sepanjang alur perjalanan sejarah, gerakan perlawanan dan resistensi petani muncul sebagai pertanda perubahan di masyarakat. Nyaris, keikutsertaan petani dalam gerakan sosial menjadi sesuatu yang selalu ada. Mengapa resistensi petani selalu hadir dalam setiap orde pemerintahan? Karena dalam setiap orde pemerintahan petani selalu didiskreditkan, didiskriminasikan termasuk di jauhkan dari sumber kehidupannya.
Dari data statistik diperoleh informasi bahwa, petani gurem di Indonesia dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar—milik sendiri maupun menyewa—meningkat 2.6 persen per tahun dari 10.8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13.7 juta rumah tangga (2003). Untuk jumlah petani gurem saja, pada 1983 persentasenya mencapai 40.8 persen. Pada 1993 meningkat menjadi 48.5 persen dan pada 2003 kembali meningkat menjadi 56.5 persen. Dari 24.3 juta rumah tangga petani berbasis lahan, terdapat 20.1 juta (82.7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin. Bandingkan dengan rata-rata pemilikan tanah pada tahun 1920 seluas 1.3 hektar per-keluarga petani.
Negara, perkebunan swasta dan petani merupakan dua aktor yang sama-sama memiliki kepentingan yang berbeda dan kadang kala saling kontradiktif. Menurut Sa'doellah (2001) terdapat tiga kelompok yang memandang tanah dengan perspektif yang berbeda: birokrat, pengusaha dan petani. Kelompok pertama mengaitkan tanah dengan otoritas, kedua dengan kalkulasi bisnis murni sehingga keduanya berhadapan dengan yang paling akhir yakni petani yang memandang tanah dengan persoalan makan, hidup dan mati.
Dari beberapa kajian literatur terkait dengan gerakan petani, kesimpulan yang biasanya muncul menghadapkan petani dengan negara saling berhadap-hadapan. Menurut Mustain yang melakukan studi atas gerakan sosial petani di Simojayan dan Tirtoyudo di ngarai Gunung Semeru, Malang Selatan (2007), berkesimpulan bahwa, "Gerakan resistensi merupakan sebentuk reaksi defensive petani akibat ketidakpastian, dan ketidak terjaminan kehidupan petani". Manifestasi terhadap berbagai kebijakan negara atas petani itulah yang 'memantik' kemarahan petani dalam sebuah format konsolidasi gerakan bersama. Sementara itu pandangan yang hampir serupa dikemukakan oleh Silaen yang melkukan perihal gerakan adat petani di Batak-Karo. Menurut Silaen (2004), "Semua gerakan petani jika ditinjau dari sisi politik merupakan ekspresi akan protes terhadap keadaan sosial yang dianggap tidak adil atau kekacauan termasuk pemerasan dan penindasan oleh penguasa".
Dalam formasi kerja kapitalisme yang kita anut saat ini memang harus diakui bahwa negara lebih cenderung berpihak kepada kepentingan kelas kapitalis borjuis (pemodal). Kenapa negara lebih memihak kepada kelas kapitalis pemodal dan pengusaha? Karena mereka relatif lebih menguntungkan jika dilihat dari kontribusi ekonomis terhadap negara, seperti pajak, sewa dll. Dalam bukunya Das Kapital, karl Marx mengemukakan:
"Sesudah revolusi-revolusi abad ke-17, negara mengubah pemihakannya dan mulai menggalakkan pemagaran tanah-tanah umum dan membuang para petani. Tindakan akhir negara adalah pemberian ijin atas perkebunan-perkebunan di pegunungan Skotlandia pada Abad ke 18. Pada waktu itulah kaum tani tidak lagi menjadi kenangan bahkan di Inggris. Pertanian Kapitalis sudah ditegakkan dan suatu proletariat yang merdeka telah diciptakan untuk industri perkotaan". (Brewer, hal. 123)
Melawan atas berbagai ketidakadilan dan peminggiran petani dari akses produksi (tanah) ini jelas, petani tidak mungkin akan berkoalisi dengan negara/pemerintah. Perlawanan, resistensi dan protes sosial petani senantiasa melawan dominasi struktural dari pemerintah dan pengusaha. Beberapa peneliti gerakan petani telah mencetuskan 4 teori utama yang biasa digunakan untuk menganalisis berbagai situasi, karakteristik dan bentuk-bentuk pilihan gerakan yang umum dipakai dalam setiap gerakan petani sebagai berikut:
Tabel 2
Bagan Teoritis Gerakan Petani
pengarang | definisi | Kasus yang dianalisa | Argumen utama | Kasus-kasus dimana teori itu tidak dapat diberlakukan. |
James Scott | Moral ekonomi | Vietnam dan Burma masa kolonial (sepanjang masa depresi besar) | Bangunan-bangunan komunitas tradisional menetapkan bentuk penyedotan surplus yang dapat diterima secara budaya. Apabila penetrasi pasar atau negara mengubah bentuk penyedotan dalam arti yang dalam ukuran tahunan meluluhlantakkan jaminan kolektif akan makanan, maka dengan sendirinya melanggar etika subsistensi dan kemudian menjadi pemberontakan. | . Konteks masyarakat yang sangat terindividualisasi dan modern. . Tempat dan saat transisi kapitalis terkonsolidasi. . Saat struktur komunitas lemah. |
S. Popkin | Minimalis | Vietnam (1940 s/d 1950) | Para pembonceng (free rider) dilihat sebagai rintangan utama untuk mobilisasi petani. sukses Mereka dapat ditanggulangi melalui kombinasi kepemimpinan yang efektif, insentif-insentif individual, dan kredibilitas. Janji-janji akan keuntungan masa depan yang dibuat para pekerja organisasi. | Sewaktu perhitungan rugi individu yang sederhana itu bukanlah model pengambilan keputusan petani Sewaktu para pembonceng (free rider) tidak menentukan pola-pola aksi kolektif. |
Paige | Marxisme | Vietnam dan Guatemala 1940-an s/d1980-an | Hasil-hasil yang revolusioner dan non revolusioner dilihat sebagai hasil dari ragam hubungan-hubungan kelas agraria. Secara khusus para petani pemilik tanah tidak dapat menghasilkan dan revolusi yang sesungguhnya merupakan hasil dari kombinasi penggarap yang bergantung pada upah kaum elite yang bergantung pada tanah. | . Sewaktu struktur kelas agraria tidak terkonsolidasi yang baik. . Sewaktu transisi kapitalis yang berorientasi eksport tidak sempurna. |
Sumber: Noer Fauzi:2007
Dari sejumlah teori yang berusaha dikemukakan diatas kiranya penelitian perihal gerakan petani senantiasa diharapkan bakal terpandu. Namun satu hal yang acapkali dilupakan dalam fokus sebuah penelitian maupun gerakan sosial adalah memperhatikan faktor penyebab kagagalan sebuah protes politik.
Sebagai sebuah proses yang panjang, gerakan politik petani melawan dominasi dan hegemoni penguasa tidak selamanya berbuah manis. Rintangan-rintangan dan hambatan-hambatan baik itu pada level internal maupun eksternal seringkali menjadikan konsolidasi gerakan terhenti dan pudar. Ipong S. Azhar (2003) mengungkapkan tentang pentingnya memeperhatikan konteks sosial, individual dan structural yang dihadapi petani. Seperti yang dialami dalam gerakan buruh paska 1926 dalam penelitian sejarahnya John Ingleson (2004) melihat bahwa kegagalan sarekat buruh di Indonesia pasca 1926 disebabkan, "orde (kolonial) akan membatasi (regulasi) gerakan buruh jika hal itu dipandang merugikan negara".
Petani vs Penguasa dan Modal: Siapa yang menang?
Satu pokok yang perlu menjadi pegangan dalam melakukan studi gerakan adalah sikap skeptisisme terhadap negara. Sikap keragu-raguan ini dimaksudkan agar tidak terjadi keterjebakan dalam melihat negara daam kacamata ideal. Sebagaimana dikemukakan oleh Silaen dan Mustain diatas bahwa gerakan petani merupakan reaksi defensive atas berbagai kebijakan yang di rasa merugikan petani.
Acapkali negara selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik seringkali gagal memahami pentingnya tanah bagi petani. Pada masa Soeharto misalnya kebijakan Developmentalisme yang mengatasnamakan land reform mengharuskan petani menyerahkan tanah (pengkaplingan) atas nama pembangunan (Nurrohim: 1996). Sikap otoritarianisme dan kesewenangan terhadap petani ini mendapat tantangan keras dari para penggagas reforma agraria yang menuntut pelibatan petani dalam pengambilan keputusan terkait tanah pertaniannya.
Jika dilihat secara posisional konsekuensi logis dari sebuah gerakan petani, merupakan sebentuk perilaku defensive petani. Petani harus mengadakan perang posisi (berhadapan dengan pemodal dan penguasa). Masing-masing pihak tentu punya sumberdaya dan kekuatan yang bisa dimaksimalkan baik oleh petani maupun pemodal dan negara. Petani mempunyai ikatan historis, basis massa dan mungkin saja dukungan dari elemen masyrakat (LSM/civil society). Dan negara memiliki sarana koersi legal (militer, birokrasi), begitupun pemodal (uang dan pemilikan alat produksi).
Dekonsolidasi Gerakan Petani
Gagal dan berakhirnya sebuah gerakan merupakan tantangan bagi sebuah kesuksesan gerakan. Kiranya penting bagi para akademisi, analis maupun aktivis gerakan mencoba meneliti situasi khusus ini (kegagalan gerakan). Fakta telah menyebutkan bahwa selain keberhasilan sebuah gerakan, tak jarang sebuah gerakan petani juga berujung pada kegagalan (dekonsolidasi). Berdasar alasan itulah yang mendorong penulis kemudian untuk melakukan penelitian skripsi terkait fakta dekonsolidasi gerakan petani tersebut di tanah sengketa Salib Putih di Salatiga Jawa Tengah. Dengan dorongan menjawab dua rumusan masalah utama yakni,
1. Faktor-faktor apa sajakah yang memotivasi munculnya gerakan petani penggarap di tanah Salib Putih?
2. Sebab-sebab apa sajakah yang menjadikan menurunnya ekskalasi gerakan petani penggarap di Salib Putih?
Dari perumusan masalah diataslah penulis memfokuskan tugas akhir kuliah (skripsi) pada jurusan Universitas Airlangga dilakukan, tepatnya pada bulan Maret-Juni 2009 lalu. Penulis mengambil lokasi penelitian di Salib Putih Desa Kumpulrejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah.
Sebelum beranjak jauh dalam penelitian lapangan penulis membekali beberapa konsep dan teori yang akan menuntun dalam studi ini. Konsep yang dipilih dalam penelitian ini adalah sbb.
a PetaniMenurut pasal 1 UU No. 2 Tahun 1960, pada huruf e disebutkan, Petani ialah orang-orang yang baik mempunyai maupun yang tidak mempunyai tanah, yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.
Menurut Henry A. Landsberger (1984: ed.hal. 27) menarik kesepakatan secara de facto, walaupun tidak selalu eksplisit dan sengaja, bahwa
semua tukang cocok tanam desa yang berkedudukan rendah secara ekonomis dan politis, mestinya pada tahap permulaan dimasukkan dalam konsep 'petani' dan bahwa perbedaan-perbedaan dalam kaum tani itu kemudian ditelaah secara cermat dengan memisahkan ke berbagai sub divisi ekonomis satu sama lain.
semua tukang cocok tanam desa yang berkedudukan rendah secara ekonomis dan politis, mestinya pada tahap permulaan dimasukkan dalam konsep 'petani' dan bahwa perbedaan-perbedaan dalam kaum tani itu kemudian ditelaah secara cermat dengan memisahkan ke berbagai sub divisi ekonomis satu sama lain.
Tabel 1
Dimensi-dimensi konseptual yang mendasari ragam pengertian tentang petaniminimalis | anthropologis | Ekonomi moral | marxian | Weberian | |
Penggarap tanah pedesaan | Ya | Ya | Ya | Ya | Ya |
Komunitas petan yang ditandai oleh praktek budaya yang khas | Ya | Ya | Ya | ||
Berada dibawah kuasa kelas sosial lain | Ya | Ya | Ya | ||
Petani menguasai dan/atau memiliki tanahnya sendiri | Ya | Ya | |||
Luasan keberlakuan konsep | Sangat besar | Sedang | Sedang | Sedang | Sangat kecil |
Tokoh pengguna utama | Popkin (1979) | Radfield (1960) | Scott (1976) | Wolf (1976), Paige (1975) | Moore(1966), Shanin(1962) |
b Gerakan Petani
Menurut Landsberger mengenai konsep gerakan ia mendefinisikan "Gerakan petani adalah setiap reaksi kolektif terhadap kedudukan rendah petani".
Selanjutnya Scott mengemukakan, dua aspek pokok yang memicu gerakan tersebut. Pertama, terjadi perubahan yang mengganggu subsistensi. Kedua, adanya pemimpin gerakan dan elite yang menggerakkan.
c Land Reform
Secara politis land reform adalah untuk menghapus feodalisme (jika pemilik tanah orang asing), menghapus kolonialisme dalam bentuk kepemilikan tanah oleh warga asing, juga menghapus eksploitasi terhadap petani sebagai targetnya. Selanjutnya ada yang beranggapan bahwa land reform bersinonim dengan agrarian reform yaitu suatu upaya untuk memperbaiki struktur agraria, yang terdiri atas; sistem penguasaan tanah, metode penggarapan tanah dan organisasi pertanian, skala operasi pertanian, sewa menyewa, institusi kredit desa, pemasaran dan pendidikan.
d Dekonsolidasi
Konsolidasi berasal dari bahasa Inggris consolidation. Dalam kamus besar bahasa Indonesia terbitan CV Widyarkara Tahun 2005 konsolidasi berarti perbuatan, hal dan sebagainya yang dilakukan untuk memperkuat, memperteguh perhubungan, persatuan dan sebagainya(Suharsono & Retnoningsih: 2005). Sementara itu imbuhan de- yang mengiringi kata konsolidasi secara bahasa diartikan sebagai suatu perubahan yang bersifat antagonistik dengan kata yang dilekati terutama perubahan yang menurun. Sepertihalnya istilah dekonstruksi, demoralisasi dan sebagainya, imbuhan de- dapat ditangkap makna ada perubahan yang menurun dari kata konstruksi dan moral.
Jadi kesimpulan konsep dekonsolidasi gerakan merupakan sebuah situasi perubahan yang menurun dari yang awalnya mengarah konsolidasi menjadi menurun bahkan nihil dikarenakan faktor tertentu.
Teori-teori
Dua pilihan teori yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah: Teori Struktural Tentang Negara (Nicos Poulantzas), Teori Pilihan Rasional Petani (Samuel E. Popkin)
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam ini adalah metode Kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Harapan digunakannya metode penelitian tersebut adalah guna menjelaskan perkembangan kasus secara kronologis dan menjelaskannya secara ilmiah dengan pilihan teori-teori yang memiliki relevansi dengan objek studi (sengketa lahan yang menyebabkan dekonsolidasi gerakan petani).
Temuan DataSebelum beranjak terlalu jauh turun dalam penelitian penulis ingin memperkenalkan beberapa actor yang terlibat dalam sengketa tanah HGU di tanah sengketa Salib Putih. Adapun actor yang terlibat terdiri dari tiga elemen utama yaitu:
Pertama, negara dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah kota Salatiga yang secara legal-formal memiliki tanah Salib Putih. Kedua, pihak-pihak diluar petani yang mengatasnamakan kepentingan agama yaitu Islam dan Kristen. Pihak Islam dalam Hal ini adlah Yayasan Universitas Islam Indonesia atau selanjutnya disingkat UIS. Keterlibatannya dalam sengketa perebutan lahan di Salib Putih (SP) adalah keperluan pembuatan Infrastruktur Islam seperti Islamic Centre dll. Kristen dalam hal ini adalah Yayasan Kristen Salib Putih (YKSP), yang dalam perkembangannya membuat PT Rumeksa Mekaring Sabdo (PT RMS, PT RMS inilah yang saat ini berstatus sebagai pemegang HGU di Salib Putih. Dan ketiga adalah petani pihak petani penggarap lahan HGU di Salib Putih yang mana kemudian berkoalisi dengan LSM pro-petani yakni Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT) dan sejumlah Lsm lain seperti STN dan FPPI. Namun dalam perkembangannya terbukti hanya SPPQT-lah satu-satunya LSM yang mengkapling gerakan petani ini.
Sejarah Tanah Sengketa Salib Putih Secara histories tanah disalib putih merupakan hasil Babad Alas Mr. Van emerick. mengundang beberapa media dan Koran local. Dia seorang warga Australia yang kemudian pada waktu pasca meletusnya Gunung Kelud ikut berkontribusi menampung korban letusan. Dalam perkembangannya Mr. Emerick saat itu membuat sebuah yayasan Kristen disitu. Kemudian akibat terjadinya maa tranmsisional dari penjajah ke Jepang tanah Salib Putih menjadi areal yang dikuasai ole horde penguasa. Hingga dalam perkembangannya kontemporer tanah Salib Putih merupakan tanah Pemkot Salatiga yang berstatus HGU. Dan HGU itu saat ini dikuasai oleh PT RMS dan berakhir pada tahun 2007 lalu. Disinilah konflik mulai mencuat, sesaat pra-HGU itu habis muncullah YUIS dan Petani penggarap yang melakukan pengupayaan atas penguasaan tanah di Salib Putih.
1. Gerakan Petani Penggarap di Salib Putih
Sejarah gerakan petani di Salib Putih sebenarnya sudah bermula sejak berpuluh-puluh tahun sebelumnya dan belum terselesaikan. Luputnya perhatian pemerintah dan kurang jelinya petugas land reform pada periode nasionalisasi pada tahun 1960-an itulah, yang menyebabkan kasus ini sampai sekarang berkembang justru kearah yang salah, bukan Reforma Agraria tapi SARA (Wawan: 2008).
Yang disayangkan oleh petani setempat dan beberapa kalangan LSM disitu, adalah keprihatinan melihat perkembangan sengketa lahan Salib Putih yang justru melibatkan tarik-menarik kepentingan agama Islam dan Kristen (YUIS vs PT YKSP), terutama perihal perpanjangan HGU (waw. Nurhadi [52]).
2. Jalannya Gerakan
Dua peristiwa yang menyebabkan kemarahan petani Penggarap di Ngemplak melakukan gerakan perlawanan:
Pertama, adanya inisiatif pengajuan proposal kepada pemerintah kota Salatiga oleh PT Rumeksa Mekaring Sabda dan investor swasta yang berniat membangun proyek agrowisata di perkebunan Salib Putih. Yang mana pada akhir tahun 2007 hak guna usaha (HGU) di perkebunan itu akan habis masa berlakunya. Dalam proposal proyek itu akan menjadikan kawasan perkebunan Salib Putih sebagai transit pariwisata seperti hotel, gedung pertemuan, dan fasilitas olahraga.
Kedua, pernyataan kepada pers oleh
Ketua Umum Yayasan Universitas Islam Salatiga (YUIS) Fauzi Humaidi yang menunjukkan surat Wali Kota, yang berisi rekomendasi menggunakan hak tanah di Salib Putih. Surat nomor 590/1473 perihal Rekomendasi kepada YUIS yang ditandatangi Wali Kota itu, melegalkan penggunaan tanah seluas 50 hektar dari total 98 hektar untuk Pendidikan Tinggi Universitas Islam Salatiga (PT UIS), Islamic Centre, STAIN, dan sebagainya. Penggunaan tanah itu mulai 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2033.
Ketua Umum Yayasan Universitas Islam Salatiga (YUIS) Fauzi Humaidi yang menunjukkan surat Wali Kota, yang berisi rekomendasi menggunakan hak tanah di Salib Putih. Surat nomor 590/1473 perihal Rekomendasi kepada YUIS yang ditandatangi Wali Kota itu, melegalkan penggunaan tanah seluas 50 hektar dari total 98 hektar untuk Pendidikan Tinggi Universitas Islam Salatiga (PT UIS), Islamic Centre, STAIN, dan sebagainya. Penggunaan tanah itu mulai 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2033.
Dipicu oleh semangat reforma agraria kemudian petani penggarap dan SPPQT mengusulkan kepada Pemkot Salatiga agar mewujudkan reforma agraria yang sesungguhnya di Salib Putih.
3 Pilihan Strategi Gerakan Petani Penggarap Salib Putih
a. Rapat dan Pembentukan Kelompok Tani
(Algera) yang merupakan kombinasi antara SPPQT bersama FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) dan sejumlah perwakilan warga di dusun Ngemplak untuk menanggapi masalah:
1) Peta Salib Putih di tahun 2003.
2) Sumber internet mengenai perluasan.
3) BPN yang menyatakan perluasan sampai 135 ha.
Setelah terjadi koordinasi dan komunikasi antara petani penggarap di Salib putih dan Algera tersebut kemudian dilaksanakan langkah-langkah berikutnya terkait pengupayaan Membatalkan keputusan pemerintahan kota Salatiga yakni dengan melakukan publikasi di media. Strategi ini merupakan inisiatif LSM SPPQT.
b. Strategi Press release
Pada pada hari Senin tanggal 19 Mei 2008 jam 10.00 WIB di Rumah Makan Elang Sari di Jl Soekarno-hatta Salatiga yang di helat oleh departemen advokasi Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), maka diselenggarakanlah konferensi pers terkait kasus sengketa tanah Salib Putih yang mengundang sejumlah unsur antara lain: dari unsur DPP SPPQT, beberapa media dan Koran local.
c. Upaya Berupa Hearing
Hearing ini di selenggarakan sesaat setelah pemberitaan press release sebelumnya yang beredar di media. Usulan memediasi antar petani penggarap dengan walikota ini merupakan lobby antara dua kekuatan yang saling kontradiktif. Walikota salatiga disatu sisi dengan kepentingan SARA. Sementara petani penggarap tanah Salib Putih yang mendesak kepentingan RA (reforma agraria) di sisi lain.
Adapun dalam lobby ini Algera (SPPQT) bersama petani penggarap (Nurhadi) di jadwalkan bertemu langsung dengan pihak Walikota (John Manoppo). Sayangnya pertemuan pertama ini gagal dikarenakan alasan padatnya acara walikota. Kemudian berselang beberapa hari pihak walikota menghubungi pihak Algera dan Ngudi Mulyo untuk melakukan audiensi bersama walikota, namun sayangnya justru dari pihak petani penggarap sendiri tidak bisa mendatangi audiensi tersebut (wawancara Nurhadi: 52 th.).
d. Aksi Bersama Memperingati Hari Pangan
Bertempat di depan depan kantor walikota Salatiga bertepatan dengan hari pangan nasional pada tahun 2007. Algera bersama sejumlah petani penggarap di salib putih bersama dengan sejumlah elemen ormek seperti LMND, PMII menggelar demonstrasi yang menuntut upaya mendesakkan kasus Salib Putih menjadi isu kerakyatan.
4. Dekonsolidasi Gerakan Petani Penggarap: SPPQT dan Kelompok Tani Ngudi Mulyo
Dari uraian kronologis perkembangan kasus Salib Putih diatas, aksi demonstrasi memperingati Hari Pangan merupakan sebuah penanda akhir terjadinya gerakan petani di Salib Putih.
Dari hasil wawancara terhadap sejumlah tokoh gerakan (Bp. Nurhadi) dan aktifis LSM (Algera) mengomentari perihal lesunya gerakan tersebut terdapat hasil yang saling kontradiktif.
a. Pihak Petani Penggarap
Adapun sejumlah kendala internal yang kemudian menyertai turunnya ekskalasi gerakan di salib putih dari hasil wawancara dapat ditemukan:
Pertama, urgensi kepentingan tanah bagi petani penggarap di Salib Putih tidak mendesak.
Kedua,adanya prasangka-prasangka antara anggota kelompok tani Ngudi Mulyo, baik itu terhadap sesama anggota maupun terhadap LSM.
Ketiga, kurangnya kesadaran dan sikap pasrah dan nrimo (Jw.) dalam berjuang. Keempat, jauhnya lokasi yang ditawarkan jika berhasil, dengan lokasi tempat tinggal penduduk.
Kelima, Secara kesejarahan penduduk merasa tidak mempunyai hak milik di lokasi tersebut.
b. Pihak SPPQT1) Terjadi ketergantungan dari petani kepada LSM, hal ini diakui sendiri oleh Wawan (25 th.) salah seorang aktivis di basis SPPQT:
P: Bagaimana SPPQT melihat penurunan ekskalasi gerakan petani penggarap, sekarang?
W: Dua hal pertama kurang adanya kesadaran, dan faktor kultural setempat yang tidak memungkinkan kesadaran itu tumbuh. Seperti sikap nrimo.
Kedua masyarakat Kumpulrejo yang sebagian besar tergolong berada pada transisi dari masyarakat rural ke Urban. Sehingga sikapnya cenderung pragmatis yang melihat apa yang diupayakan ini tidak jelas dan kabur. Apatisme petani kemudian timbul manakala mereka lebih memutuskan untuk bekerja dikota dari pada melakukan gerakan.
2) Para petani kontak dalam perjuangannya selalu saja pasrah kepada organizer untuk bagaimana cara di perlakukan, mereka akan menurut saja.
3) Kesalahan lain yakni perihal isu land reform yang diusung, dikarenakan konteks sosial, struktural dan individual di lokasi tidak mendukung:
"Bagaimana mungkin akan memberikan tanah kepada para petani penggarap yang belum punya kesadaran pentingnya tanah? Bukankah kasus Salib Putih, dimana kesadaran petani belum terbangun dikarenakan mayoritas dusun Ngemplak bukan petani penggarap di lahan Salib Putih (hanya 19 orang). Sehingga, untuk mendorongkan ide RA juga menjadi aneh dan terkesan menunggu". (Wawan, 25 Th).
ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI TEORITIS
1 Karakteristik Gerakan Petani di Salib Putih
Sengketa tanah antara para petani penggarap dengan pihak YUIS dan PT RMS di kecamatan Argorejo berakar dari ketidakpuasan petani akibat komoditisasi tanah Salib Putih yakni, menjadi ajang perebutan kepentingan antar agama. Meskipun dalam melakukan gerakannya petani tidak sampai melakukan tindakan kekerasan dan mengambil jalan yang kompromis (legal-formal), hal ini dapat dipahami dalam kerangka rational choice, yang dikemukakan oleh Samuel E. Popkin yang menyatakan bahwa petani dalam melakukan gerakannya didasari oleh motivasi serta alasan-alasan yang logis dan pertimbangan yang rasional. Rsional disini maksudnya sebelum memutuskan untuk ikut dalam gerakan, petani Penggarap di Salib Putih memperhitungkan untung rugi jika mengikuti gerakan tersebut.
2. Interpretasi Teori
a. Posisi Negara dalam Konflik di Salib Putih
Menurut Poulantzas, negara berfungsi untuk menjaga stabilitas politik yang ada di dalam masyarakat. Stabilitas politik itu sendiri, dalam sebuah masyarakat kapitalis selalu akan menguntungkan kaum borjuis. Untuk itulah negara harus menciptakan stabilitas. Tindakan negara mengamankan asset ekonomi yang dianggap penting ini selain didasari oleh rasionalitas ekonomis juga rasionalitas psikologis. Dalam kasus Salib Putih ini negara harus membela kaum bermodal (PT RMS) untuk mengembangan dirinya. Jadi, bila kaum borjuis gagal megembangkan modalnya, negara akan mengalami masalah pembiayaan kegiatan-kegiatannya. Dengan demikian, negara menolong perkembangan kaum borjuis dalam sebuah sistem kapitalis. Tak perduli pada pemerasan tenaga dan kemiskinan (krisis subsistensi) yang dialami penduduk Kumpulrejo akibat tidak punya akses tanah.
Sebagaimana yang dilakukan negara terhadap PT RMS, YUIS dalam kasus ini juga diuntungkan dengan dikeluarkannya surat edaran walikota perihal pembagian tanah untuk proyek Islamic Centre. Pemerintah dalam hal ini memang tidak cukup diuntungkan secara ekonomis karena YUIS merupakan organisasi yang masih kecil. Tapi perimbangan stabilitas politik Salatigalah yang lebih mengemuka. Hal ini wajar dilakukan pemerintah kota semata untuk menghindari konflik yang menjurus SARA yang bakal meletus, karena kalangan Islam merasa terdiskriminasi.
Jelas posisi pemodal (RMS) jika dipandang dari segi perolehan pendapatannya melalui sistem perpajakan akan lebih menguntungkan, karena Nilai Jual Obyek (NJOP) tahun 2007 dari tanah yang dimohon itu (HGU Salib Putih) tidak dengan bangunan-bangunan dan tanaman-tanaman di atasnya, adalah 14.000 M (empat belas ribu) tiap meter perseginya, sedangkan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) kota Salatiga adalah Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Dari perspektif teori Poulantzas ini dapat ditarik relevansi perihal meredupnya gerakan petani yang berhadapan dengan negara. Terutama dugaan adanya sejumlah insentif yang diterima para anggota kelompok tani. Dan juga tekanan dan provokasi yang berhembus kepada SPPQT terkait isu Islamisasi di Salib Putih. Atau gagalnya pengupayaan perjuangan petani penggarap di Salib Putih yang dilakukan melalui seorang anggota DPRD dari PKB (Haris). Selain dari hasil wawancara dengan bapak Nurhadi (Pemimpin Gerakan dan ketua Kelompok Tani Ngudi Waluyo) memaparkan:
"Waktu itu ada teman saya yang kuatir dan berusaha mencegah keterlibatan saya dalam pegorganisiran gerakan petani disini. Orang itu seorang pejabat di DPR. Tapi, saya santai saja saya sudah tahu musuhnya ini sama pemodal dan pemerintah pasti akan sulit"
Kiranya cukup tepat juga menempatkan tesis Paige (1979), yang mengemukakkan mengenai konflik-konflik agraria yang mendasari lahirnya gerakan petani. Tesisnya mengatakan bahwa Konflik-konflik yang terjadi adalah konflik antara kelompok petani bukan penggarap (non-cultivators) dengan kelompok petani penggarap (cultivators). Konflik ini muncul karena adanya perbedaan perilaku ekonomi dan politik, kelompok petani bukan penggarap dan petani penggarap.
Dalam sengketa tanah di Salib Putih petani bukan penggarap disini adalah yayasan atau PT RMS (Rumeksa Mekaring Sabda), sementara petani penggarap memperoleh penghasilan dari upah sebagai perawat tanaman di perkebunan tersebut. Kiranya tesis Paige tersebut dapat digunakan guna menjelaskan, apa yang dialami gerakan petani di Salib putih. Mengapa jika gerakan petani harus berakhir dengan penurunan ekskalasi gerakan?
b Dekonsolidasi Gerakan Petani Penggarap Dalam Teori Rational Choice
Sebagaimana Popkin menyatakan bahwa petani lebih memperhatikan faktor tindakan kolektif dan rasional. Dalam konteks Salib Putih asumsi teori rational choice ini terejawantah dalam keputusan mereka dalam paguyuban bentukan Algera yang diinisiatifi oleh SPPQT. Mereka merasa bahwa keterlibatan mereka dalam pengorganisiran akan mendekatkan mereka dalam akses kepemilikan tanah. Namun dalam perkembangannya terpaksa mereka tidak lagi aktif. Salah satunya adalah pertimbangan individual petani yang notabene, selain menjadi petani penggarap juga merupakan buruh/kuli dikota. Jika dihitung untung ruginya petani lebih memilih untuk menjadi buruh dikota dari pada harus berjuang memperebutkan tanah yang belum jelas hasilnya. Berikut ini hasil wawancara saya dengan salah seorang petani penggarap:
"Kendala-kendala yang saya alami ketika melakukan pengorganisasian kalo sama anggota kebanyakan mereka kalo siang bekerja menjadi buruh di kota. Kalo sama LSM kadang saya pikir cara-cara yang mereka tempuh cukup sulit, dari awal saya sudah agak kurang yakin bakal berhasil. Lha, wong yang DPR dari PKB itu saja (mas Haris) dulu tidak berhasil, apalagi kita yang Cuma petani biasa. Terus terang masyarakat disini itu owel, owel (Jw.) dalam arti pasrah. Mereka mau menggarap tapi, kalau harus susah payah berjuang ya mereka enggan. Mereka lebih memilih untuk kerja di kota daripada memperjuangkan tanah yang belum jelas juntrungannya."
Sementara itu untuk menjelaskan perihal pertimbangan penurunan ekskalasi gerakan di Salib Putih paska demonstrasi pada hari pangan. Kenapa petani tidak menempuh jalur yang lebih radikal/kekerasan? Alasannya selain menghitung kekuatan yang sangat kecil (20 orang), perlawanan juga dinilai sebagai cara yang tidak efektif dan efisien (konyol). Dan jalur kompromistis dianggap sebagai cara paling maksimal bisa ditempuh petani, meskipun terkesan untung-untungan .
Selain sangat rasional yang ditekankan dalam pendekatan ekonomi politik adalah orientasi kemasa depan. Seperti tejadinya situasi dimana warga mengalami kegamangan (kendo & nglokro : Jw) manakala mereka diberitahu, perihal lokasi yang ditawarkan jika kelak berhasil. Dikarenakan lokasi sebelah kanan jalan raya dirasa terlalu jauh (3 Km) karena mereka terbiasa jalan kaki ke ladang dan juga tidak ada jaminan keamanan jika ada warga dusun lain yang sirik atau berbuat jahat (Juri: 68 th.).
Sementara pendapat Popkin yang menganggap bahwa keterlibatan Organisasi dari luar sebagai faktor yang mendorong timbulnya kesadaran petani untuk melakukan tindakan revolusioner dan political entrepreuneur (Mustain: 2007). Jika ditarik relevansinya dengan keadaan petani penggarap di Salib Putih relatif terjelaskan, karena kehadiran SPPQT dalam pengadvokasian telah membuka sedikitnya pengetahuan warga setempat perihal pentingnya reforma agraria, terutama land reform di Salib Putih. Karena tanpa keterlibatan LSM petani mungkin akan perlahan meninggalkan tanah terutama menjadi buruh di kota.
C Strategi LSM Reform Agraria dalam Pandangan Teori Konflik Politik
Dalam konteks sosial gerakan petani penggarap yang terjadi di lokasi Salib Putih Salatiga, tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi-organisasi sosial politik dari luar menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya gerakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa isu land reform merupakan isu yang diproduksi oleh salah satu LSM.
Dalam perspektif sosial atau konteks interaksi dan interrelasi antara kelompok-kelompok sosial yang ada, Charles Tilly (1978: dalam Ipong, 2001 hal. 209) melalui teori "konflik politik" yang diketengahkannya menyatakan bahwa, "Gerakan masyarakat atau sebagian masyarakat merupakan implikasi dari persaingan antara kelompok-kelompok sosial yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Gerakan masyarakat atau sebagian masyarakat, hanya akan terjadi apabila masyarakat atau sebagian masyarakat itu merupakan bagian (menjadi pengikut) dari kelompok-kelompok itu".
KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang dekonsolidasi gerakan petani penggarap pada kasus sengketa tanah di lokasi Salib Putih diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan yang menjawab dua rumusan masalah dalam penelitian ini:
1. Faktor-faktor yang Memotivasi Munculnya Gerakan Petani Penggarap di Salib Putih
- Kondisi dan situasi perebutan tanah untuk kepentingan agama di Salib Putih setidaknya menjadi pertimbangan awal keterlibatan petani dalam gerakan di Salib Putih. Karena konflik agama yang berkepanjngan ini bagaimanapun juga mengancam subsistensi penduduk sekitar yang menggantungkan nasib sebagai petani penggarap di Salib Putih.
- Kemunculan gerakan petani di Salib Putih tidak bisa dilepaskan dari konteks struktural yang dihadapi petani yakni, munculnya kekuatan-kekuatan besar non petani penggarap terhadap petani penggarap di Salib Putih yaitu terjadinya ekspansi modal di lokasi Salib Putih yang menggusur kepentingan petani sekitar.
2. Sebab Menurunnya Ekskalasi Gerakan Petani Penggarap di Salib Putih
- Kegagalan-kegagalan upaya dialogis ditambah jalur hukum yang telah ditempuh tidak kunjung membuahkan
- Petani penggarap enggan tercebur kedalam konflik SARA terutama antara pihak YKSP dan YUIS (Islam).
- Keputusasaan SPPQT terhadap petani penggarap yang pasif .
- Ketakutan dijadikan komoditas kepentingan politik aktor-aktor yang banyak terlibat dalam advokasi kepada petani.
- Alasan ekonomis perihal kehilangan pekerjaan sebagai kuli dan buruh dikota.
- Minimnya keterlibatan petani dan warga sekitar (20 orang) membuat ghirah gerakan, cepat menurun (kendo & nglokro Jw. [ Sarju: 52 th}) dan gerakan yang dibangun bisa dikatakan sangat premature (belum siap melakukan gerakan).
Azhar, S. Ipong. 1999. Radikalisme Petani Masa Orde Baru. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Mustain. 2007. Petani vs Negara. Jogjakarta: Arruz media Group
Landsberger H.AL & Alexandrov Y.G. 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial (Ed.). Jakarta: CV Rajawali.
Jurnal
Gerbang, Nomor 09, Volume IV, April-Mei 2001 182-224.
Dokumen
Dokumen Serikat Paguyuban petani Qaryah Thayyibah: Advokasi Petani Penggarap Salib Putih, 2008.
____________
Tulisan ini disarikan dari penelitian [skripsi] tentang fenomena kegagalan gerakan petani yang berlangsung di Salib Putih medio 2009.
Yang saya permasalahkan apa dasar dari penggugat tersebut. Karena berdasarkan sejarah sejak salib putih ini didirikan memang untuk yayasan sosial.
BalasHapusMulai dari A. Th. J. van Emmerik dan istri dilanjutkan oleh putranya yaitu Santosa A. van Emmerik bersama pemerintah dan akhirnya disrahkan kepada Sinode GKJ dengan dasar keputusan Menteri Kehakiman. Jadi saya rasa pihak Sinode GKJ yang benar karena mempunyai dasar hukum.. Terima kasih