Dua Hari yang Sangat Melelahkan dan Penuh Bahaya

Haji sebagai puncak ritual peribadatan bagi para umat Islam, sejak berpuluh tahun lalu, menjadi "ritual" penyerahan diri secara total kepada Allah, Sang Pencipta dan Penguasa Seluruh Alam.

Ketika pesawat terbang belum menjadi alat transportasi utama bagi kaum Muslimin di Indonesia, ribuan Muslimin Indonesia telah menyerahkan dirinya secara total untuk pergi berhaji dengan kapal laut. Risiko selama terombang-ambing di lautan dan wafat dalam perjalanan atau selama berhaji diterima dengan ikhlas.

Kini ketika berhaji semakin mudah dan perjalanan haji dari Indonesia ke Arab Saudi bisa dalam beberapa jam saja, risiko berhaji berpindah ke dua hari yang sangat melelahkan.

Dua hari itu adalah perjalanan ketika jemaah menjalankan wukuf di padang Arafah, sekitar 20 kilometer dari pusat kota Mekkah, pada 9 Zulhijah, hingga ritual melempar jumrah aqabah pada 10 Zulhijah.

Sebelum melaksanakan wukuf atau berdiam diri di Arafah sejak matahari terbit hingga matahari terbenam, banyak jemaah memaksimalkan peribadahan mereka dengan melaksanakan sunat Tarwiyah atau pembekalan, yaitu sudah berada di Mina sebelum shalat Dzuhur hingga seusai shalat Subuh keesokan harinya. Meski inti dari Tarwiyah adalah melaksanakan shalat lima waktu, dari Dzuhur hingga Subuh di Mina, ritual ini cukup melelahkan dalam kondisi udara yang sangat panas di Mina.

Beristirahat di tenda dengan alas tidur seadanya dan pendingin ruangan yang tidak mampu menurunkan suhu hingga di bawah 30 derajat serta harus mengantre minimal 10 menit untuk bisa masuk ke toilet, membuat energi cukup terkuras.

Dalam kondisi seperti itulah para jemaah kemudian bergerak ke Arafah yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari Mina dengan menggunakan bus untuk menjalankan wukuf. Tenda-tenda di Arafah yang kondisinya lebih minimalis didirikan semipermanen, sementara terik dan panas matahari melampaui 45 derajat, membuat energi jemaah lebih terkuras. Lebih khusus lagi untuk jemaah asal Timur Tengah dan Afrika, yang banyak memilih menjalankan wukuf di Bukit Jabal Rahman, yang jaraknya antara 1 kilometer hingga 3 kilometer dari tenda mereka.

Tidak sedikit pula jemaah yang berhaji "ala backpacker" yang tidur di mana saja dan menjalani ritual haji sepenuhnya dengan berjalan kaki. Meski tidak dianjurkan, bahkan oleh beberapa pihak dilarang, berwukuf di Jabal Rahmah memiliki nilai spiritual sendiri karena jemaah bisa merasakan lebih dekat lagi dengan Sang Penciptanya setelah menjalani perjuangan yang tidak mudah untuk mencapai Jabal Rahmah.

Selesai menjalankan shalat Maghrib di Arafah, para jemaah seluruhnya kemudian bergerak ke Muzdalifah, sekitar 8 kilometer dari Arafah, untuk menjalankan mabit atau bermalam di Muzdalifah. Para jemaah harus berdesak-desakan masuk ke dalam bus yang akan membawa mereka ke Muzdalifah.

Di Muzdalifah, jemaah harus berjuang menemukan tempat untuk menggelar alas untuk duduk atau tidur hingga lewat tengah malam. Kondisi tempat mabit itu, yang terbuka dengan alas sudah diaspal, juga bukan kondisi yang nyaman. Meski sudah malam, aspal yang menjadi tempat beristirahat itu tetap hangat, bahkan terasa agak panas sehingga tidur ataupun duduk tidaklah nyaman.

Di sini juga nyaris tidak ada ruang tersisa untuk orang lewat sehingga tempat yang sudah ditempati bisa dengan mudah dilangkahi bahkan didesak jemaah lain. Lepas tengah malam, para jemaah baru boleh meninggalkan Muzdalifah dan kembali harus berdesak-desakan untuk mendapatkan bus menuju tenda mereka di Mina. Rata-rata jemaah baru bisa sampai di tenda mereka setelah pukul 02.00, tapi tidak sedikit yang baru bisa meninggalkan Muzdalifah setelah shalat Subuh.

Dalam kondisi sudah sangat kelelahan itulah, para jemaah kemudian harus menjalankan ibadah melempar jumrah aqabah. Waktu yang disediakan tidak banyak, yaitu dari terbit fajar sampai menjelang terbenam matahari. Dengan kondisi panas yang luar biasa di Mina, sangat bisa dipahami apabila mayoritas jemaah melakukannya pada pagi hari. Jarak dua hingga lima kilometer, tergantung posisi tenda jemaah, harus mereka tempuh untuk sampai ke Jamarat, tempat melemparkan batu kerikil ke Jamarat Aqabah.

Puluhan bahkan ratusan ribu jemaah langsung memenuhi semua akses jalan. Banyak jemaah yang ingin segera menyelesaikan ritual melempar jumrah ini, agar bisa mengganti pakaian ihramnya dengan pakaian biasa. Maklum, setelah dua hari penuh hanya mengenakan kain ihram, yaitu dua potong kain tanpa jahitan, rasa kurang nyaman dirasakan para jemaah.

"Hukum rimba"

Dalam kondisi jalan kaki berdesak-desakan seperti itu, nyaris tidak ada ruang bagi jemaah untuk berhenti sejenak atau memperlambat langkahnya. Di sini berlaku "hukum rimba", yang kuat menindas si lemah.

Insiden yang kerap terjadi di Mina biasanya karena kondisi kelelahan sebagian jemaah yang tidak bisa mengikuti "arus" pejalan kaki di sekelilingnya. Oleh karena itulah, dalam kondisi sangat kelelahan, jemaah yang telah dibekali pengetahuan dengan baik, akan memilih jalur paling pinggir agar tidak terlalu mengganggu jalur pejalan kaki lainnya. Tapi tidak sedikit jemaah yang tidak bisa keluar dari arus jemaah, padahal dia berada di tengah.

Di Jamarat, saat melempar jumrah, kondisinya tidak jauh berbeda. Jemaah akan berdesak-desakan agar lemparan batunya bisa masuk ke lubang Jamarat sebagaimana diharuskan. Di sini pun mereka yang kuat kadang terbawa egoismenya dengan menindas yang lemah.

Lolos dari Jamarat, jemaah tidak diberi tempat untuk beristirahat karena para askar akan dengan sigap mengusir mereka. Padahal perjalanan jemaah belum selesai karena setelah itu mereka harus kembali berjalan kaki ke Mina.

Kondisi kelelahan pastilah dirasakan seluruh jemaah sehingga kontrol diri pun menjadi berkurang. Oleh karena itu, persiapan fisik menjadi keharusan bagi mereka yang ingin menjalankan seluruh ritual haji tanpa diwakilkan ke orang lain.

(Rakaryan Sukarjaputra dari Mekkah, Arab Saudi)



sumber:kompas cetak. minggu 27/9/2015


SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar