Oleh Siti Harsun
Perempuan saat ini banyak mengalami persoalan terutama persoalan akibat adanya ketidakadilan. Baik itu ketidakadilan karena budaya patriarki, ketidakadilan karena kebijakan structural dan juga dalam ketidakadilan dalam hal akses dan control terhadap sumberdaya. Selain itu masih ditambah dengan neoliberalisme melalui kapitalisme.
Budaya patriarki mengakibatkan perempuan hingga saat ini masih mengalami berbagai macam ketidakadilan seperti peminggiran, pelabelan, sub ordinasi, kekerasan dan juga beban ganda.
Peminggiran/ diskriminasi pada perempuan berakibat pada semakin miskinnya perempuan. Hal ini terkait dengan upah buruh tani perempuan ataupun upah buruh perempuan di sector industry yang memang membedakan perempuan lebih rendah 30-40 % dibanding laki-laki.
Petani perempuan anggota SPPQT di Sragen sedang berkumpul |
Pelabelan masih banyak dialami oleh sebagian besar perempuan dan bahkan masyarakat di Indonesia. ketika perempuan aktif bertanya masih dianggap sebagai perempuan cerewet, anggapan bahwa perempuan yang keluar malam adalah perempuan yang tidak baik dll.
Sub ordinasi masih sangat nyata dialami oleh perempuan, hal ini tercermin dalam minimnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Seandainya mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan masih sebatas ‘lip sevice’ saja. Hal ini bisa dilihat dari minimnya pendidikan khusus perempuan terkait dengan pendidikan politik ataupun pendidikan kepemimpinan. Hal ini berdampak pada pemenuhan kuota 30% perempuan dipasang hanya untuk memenuhi target saja.
Kekerasan masih menjadi salah satu persoalan yang banyak terjadi. Dan yang lebih parah perempuan justru disalahkan meski dia menjadi korban. Hal ini tercermin dari sikap para penegak hukum seperti kasus Daming yang saat ini ramai dibicarakan ole media. Tetapi yang menjadi keprihatinan bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan hanya dianggap sebagai candaan dan bukan persoalan serius.
Beban ganda menjadi fenomena yang cukup banyak terjadi saat ini , dengan lebih terbukanya akses perempuan untuk mendapat pekerjaan (meski dibayar murah dan banyak dieksploitasi dan ini harus dibaca secara mendalam). Selain menjadi tulang punggung keluarga sebagai pencari nafkah, perempuan juga harus bertanggung jawab untuk pekerjaan domestic dan mengurus anak.
Sementara persoalan structural yang menimbulkan ketidakadilan pada perempuan adalah produk kebijakan pemerintah yang belum berpihak/tidak berpihak kepada perempuan sehingga banyak dari kebijakan itu yang justru semakin meminggirkan perempuan. Kebijakan itu antara lain kebijakan impor pangan yang membuat perempuan sebagai produsen pangan semakin miskin, UU PPTKILN yang hanya memiliki perspektif penempatan dan bukan perlindungan sementara kita tahu bersama bahwa jumlah perempuan yang menjadi buruh migran sekitar 80% dari seluruh buruh migran yang ada di luar negeri. Juga UU PMA yang melegalkan privatisasi terutama air , sementara air adalah kebutuhan paling pokok bagi perempuan dsb.
Administrasi sebagai kelengkapan berorganisasi |
Demikian juga kesempatan perempuan untuk memimpin juga masih sangat terbatas. Baik kepemimpinan didalam pemerintahan maupun di dalam masyarakat (Ornop, Ormas dll).
Akses dan control perempuan terhadap sumberdaya juga sangat rendah, hal ini semakin menempatkan perempuan dalam kemiskinan yang mendalam. Tanah dan air sebagai alat produksi saat ini dikuasai hanya oleh beberapa orang saja, hal ini berdampak pada semakin miskinnya rakyat Indonesia terutama perempuan.
Diranah distribusi dan konsumsi neoliberalisme bersama dengan feodalisme (akar dari budaya patriarki) bekerjasama dan ini semakin membuat kondisi perempuan memprihatinkan. Perempuan dijadikan objek, diubah cara berpikirnya melalui alam bawah sadarnya dan dijajah kemerdekaannya hanya untuk keuntungan satu dua orang saja. Dimulai dari buruh yang boleh dibayar murah, pembodohan- pembodohan melalui anggapan/sebutan menyesatkan tentang “perempuan cantik, Ibu yang cerdas, Ibu yang pintar dll” yang ukurannya ditentukan oleh kapitalisme baru yang tujuannya hanya untuk mendapat uang sebanyak-banyaknya sehingga menjadikan perempuan menjadi obyek, baik sebagai model ataupun juga sebagai pasar.
Melihat kondisi dan situasi diatas maka sangat penting bagi perempuan untuk mengorganisir diri , berorganisasi serta mendidik diri sendiri untuk melawan musuh yang sejatinya yaitu feodalisme dan neoliberalisme.
Untuk memberikan pemahaman akan adanya situasi dan kondisi diatas dengan situasi dan kondisi hari ini memang tidak mudah, dibutuhkan pemimpin-pemimpin local perempuan yang memiliki kapasitas cukup dan memiliki perspektif perempuan untuk menggerakkan perempuan lainnya agar tercerahkan dan tersadarkan dan mempengaruhi kebijakan sehingga kedepan akan memiliki keberpihakan pada perempuan.
Meskipun hal diatas bukanlah hal yang mudah, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin. Tetapi memang juga dibutuhkan waktu, proses dan kerja-kerja simultan untuk mewujudkannya, sehingga kesejahteraan dan kedaulatan perempuan bukan semata utopis . /Siti Harsun, Ketua Bidang Perempuan, Buruh Migran dan Anak SPPQT
0 komentar :
Posting Komentar