ROMANSA PERJUANGAN 70 TAHUN LALU

oleh: Muhlisin
Gambar: google.com
Tepat hari ini 70 tahun yang lalu semangat menggelegar yang digelorakan Bung Tomo terasa memkakan telinga. Suara takbir semakin menambah semangat membara para pejuang dalam menghalau pasukan Inggris Raya dan Belanda yang kembali ingin menjajah tanah pertiwi ini. Namun demikian perjuangan tulus tanpa pamrih para pejuang - kecuali melihat dan merasakan bumi nusantara ini merdeka - sedemikian luar biasa.

Semangat bertempur tanpa kenal rasa takut kembali menunujukkan kepada dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia bukan sekedar "aji mumpung" melainkan dibuktikan dengan "kekuatan" bangsa ini yang nyata. Tidak ada kebahagiaan yang dirasakan oleh para pejuang ini selain rasa memiliki terhadap bumi pertiwi ini degan perjuangan yang ikhlas.

Setelah 70 tahun semenjak peristiwa 10 November yang menggemparkan itu, semangat patriotisme dan nasionalisme selalu dikobarkan oleh para "pemimpin" negeri ini. Sejak zaman Sukarno, Suharto, Sampai era Jokowi, peringatan 10 November selalu "diupayakan" agar kita terngiang-ngiang dengan peristiwa itu.

Seolah ada pesan agar kita sebagai rakyat kecil diminta berjuang sekuat tenaga samapi tetes darah penghabisan dalam memperjuangkan negeri ini.

Namun demikian ada yang terasa berbeda dan cukup mengganjal bagi nurani rakyat negeri ini. Kalau dulu para pemimpin begitu dekat dengan dengan para pejuang, juga rakyat dengan rasa senasib sepenanggungan. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki dan "kepapaan" segala aspek materi kehidupan tidak menjadikan kesungguhan perjuangan mereka ternoda.

Kini terasa berbeda dengan nihil ketauladanan para pemimpin negeri ini. Tidak ada lagi - kalau tidak ingin dikatakan sangat sedikit - nilai-nilai ketauladanan kepemimpinan yang bisa dicontoh rakyat bangsa ini. Negara Indonesia yang mendasarkan pemerintahan pada sistem trias politika seolah tidak bisa membuat warga bercermin dengan benar.

Para eksekutif selaku pemegang kewenangan penuh nahkoda "bahtera" Indonesia ini justru menjadi pelayan masyarakat yang menyulitkan. Sistem birokrasi bukannya mempermudah segala urusan kewarganegaraan justru membuat masyarakat jenuh dan ogah-ogahan dalam mengurus administrasinya. Bisa kita saksikan para eksekutif justru bersemangat dalam menggerogoti matreal negeri daripada mendermakan kepada warga selaku pihak yang berhak.Kasus di kemetrian ESDM, Kementrian Pertanian, Kementrian Pemuda dan Olah Raga, dan masih banyak lagi kementrian-kementrian yang lain, seolah semakin menguatkan bahwa mereka bukan pelayan masyarakat, melainkan perampok negara.

Seolah tak mau kalah dengan kompatriotnya, kelompok yudikatif juga menunjukkan taringnya dalam mencengkeram negeri ini. Sebagai penegak hukum yang seharusnya mengayomi rakyat pejuang kecil, justru bertindak sebaliknya. Atau beradu kuat dengan lembaga penegak hukum lain dalam menunjukkan eksistensinya. Kasus cicak vs buaya, kriminalisasi pimpinan KPK, korupsi mantan Ketua MK, dan yang terkini kaus suap di PTUN Medan Sumatra Barat bisa menambah kekayaan pilu bangasa ini.

Hal senada juga diperagakan para legislator dalam menunjukkan kekuatannya. Merasa berkuasa membuat undang-undang, bukannya membuat undang-undang yang memihak rakyat, justru setumpuk undang-undang yang siap menggilas setiap rakyat selaku pejuang kecil negeri ini. UU Penanaman Modal Asing dan UU Pengelolaan Sumber Daya Alam yang pro kapitalis menjadikan rakyat kecil semakin merana.

Kalau kita kembali ke romansa 70 tahun yang lalu, dimana para pemimpin bangsa ini bersatu padu bersama rakyat kecil selaku pejuang semesta melawan penjajah kolonial Belanda. Lalu kita bandingkan saat ini yang justru rakyat kecil yang harus berhadapan dengan pemimpin negeri ini hanya untuk sekedar melanjutkan hidup agar tidak mati kelaparan karena kemiskinan. Lantas dimanakah kita melihat nilai-nilai kesamaan antar rakyat dan pemimpin dalam memperingati Hari Pahlawan kali ini?

Penulis: Muhlisin Kr. Ketua Bidang Pemuda SPPQT
SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar