Bayi yang masih lemah lunglai dan hidup dalam timangan kedua orang tuanya, belum mengenal apapun kecuali tangis, tawa, makan/minum, tidur dan tidak pernah menolak apapun yang dimmasukkan ke mulutnya atau di suntikkan ke tubuhnya yang lembut. Dia begitu pasrah menerima apapun perilaku orang tuanya. Nahh, ayah dan ibunya yang harus memilih dan memilah apa yang terbaik untuk ditelan atau dimasukkan ke tubuh buah hatinya.
Lagi-lagi, mungkinkah orang tua membiarkan ragam racun ditelan atau merayap di seluruh pembulu darah dan bersarang di organ-organ tubuh anak kesayanganya? Orang tua yang sehat dan arif tentu akan menolak keras bahkan menentangnya bila hal itu terjadi.
Disisi lain, mungkinkan racun merupakan omedia ang tepat dan dibenarkan untuk menaga keshatan atau meningkatkan daya tahan tubuh? Apa ada orang yag bisa sehat dan kuat bila seluruh jaringan tubuh dan pembuluh darahnya di penuhi racun atau zat berbahaya bagi tubuh itu sendiri? Bagaimana pula bila racun itu sudah menyusup dan mendekan dalam tubuh seseorang sejak lahir?
Bayangkan pula bila racun yang masuk menyatu dengan darah dan mendekam di organ-organ kita ternyata adalah virus dan bakteri penyakit berbahaya? Atau racun itu merupakan bahan baku khamr (minuman memabukkan), nuklir, bom atom, sabun cuci, pembersih lantai, baterai, pewarna pakaian (cat) dan bahan berbahaya lainnya? Ada lagi racun yang dimasukkan ke tubuh berasal dari babi, bangkai, darah, dan nanah? Mari kita renungkan...
Setelah mengetahui ragam racun yang akan masuk ke tubuh bayi atau tubuh kita, apakah kita akan pasrah dan oke-oke saja dengan alasan kesehatan?
Adapula dengan alasan kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh, seorang bayi harus menelan atau disuntikkan kasein (salah satu bahan baku lem atau perekat) dan fenol (bahan disinfektan,pewarna, pengawet dan plastik) ? atau disuntik bahan berbahaya formalin? Mungkinkan seseorang yang ingin menguji daya tahan tubuhnya harus menelan bahan berbahaya seperti alkohol, merkuri (air raksa) atau mungkin bahan bakar?
Atau pengujian daya tahan tubuh ditempuh dengan cara makan bangkai, darah, nanah, kotoran dan menghirup bibit penyakit yang mengandung virus dan bakteri yang konon tidak ada obatnya? Apa yang terjadi bila hal itu dilakukan? Akankah daya tahan tubuh kita meningkat dan semakin sehat? Atau malah sebaliknya, jiwa raganya rusak dan tak lebih dari bunuh diri.
Al hasil, apakah mungkin ada orang tua atau anggota keluarga yang mau meletakkan bangkai, virus, kuman, bakteri, darah, atau bahan-bahan beracun dan bebahaya di ruang tamu rumah? Atau menjadikan bahan-bahan vaksin sebagai hiasan di kamar tidur atau menyimpanya sebagai bahan berharga dilemari, brankas atau aci rumah? Bila kita menolak dan ngeri menjadikan bahan-bahan vaksin/imunisasi sebagai hiasan rumah, mengapa banyak orang dengan suka rela dan bangga memasukkan bahan-bahan berbahaya itu ke tubuh manusia sehat?
Inilah barang kali sekelumit akumulasi pemikiran tentang vaksinasi/imunisasi. Betapa deretan laporan korban vaksinasi dan imunisasi semakin bertambah. Kegalauan, kecemasan dan ancaman resiko imunisasi kian menghantui masyarakat. Sayangnya kebijakkan terhadap masalah ini semakin menguap, bahkan ragam vaksin baru bermunculan untuk berita, pasangan pranikah, wanita hamil sampai calon jamaah haji pun harus di vaksin. Tentu hal ini mengundang tanda tanya besar.
Sayangnya banyak pihak tak berdaya untuk menghindari dan menghadangnya? Bagi hati dan akal sehat, tentunya akan berfikir ulang bahkan menolak bila mengetahui kandungan bahan-bahan yang terkandung dalam vaksin (baca: racun). Begitu pula bagi pihak-ppihak yang bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat dan masa depan generasi wajib kiranya menghindarkan dan menyelamatkan mat dan bangsa dari semua hal yang berpotensi merusa dan menghancurkan kesehatan dan masa depan generasi .
Seperti yang dilakukan Dr. Siti Fadhilah Supari saat menjabat menteri kesehatan, melalui bukunya Saatnya Dunia Berubah ! Tangan Tuhan Di Balik Virus Flu Burung, secara terang-terangan mempertanyakan dan mendesak di kaji ulang keberadaan Namru 2 (Naval Medical Reseach Unit) proyek riset milik militer AS yang berperan dalam masalah vaksin. Dia juga menentang proyek jual beli virus flu burung dan praktek-praktek kotor bisnis virus Amerika Serikat.
Fadhilah yang kini menjadi anggota Dewan Penasihat Presiden mengamati adanya konspirasi Amerika Serikat dan WHO dalam mengembangkan “senjata biologis” dengan menggunakan virus flu burung. Akibatnya, Fadhila dinilai “membuka kedok” badan kesehatan dunia (WHO) yang lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang banyak merugiakan negara miskin dan berkembang asal virus tersebut. “saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebara flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadhilah kepada pers.
Vaksin yang dikembangkan selama ini adalah salah satu produk farmasi, sedangkan mengenal kehalalan produk farmasi sendiri dikritisi oleh Direktur LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) Lukmanul Hakim , yang menegaskan bahwa sampai saat ini pihaknya belum mengeluarkan sertifikasi halal untuk produk obat-obatan, termasuk vaksin. “Menurut data LPPOM MUI belum ada satu pun obat yang beredar di Indonesia bersertifikat halal. Belum ada yang mengajukan permohonan sertifikat juga,” ujarnya saat membuka seminar tentang pentingnya penyediaan produk halal di Jakarta, baru-baru ini.
Amidhan, Ketua Majelis Ulama Indonesia pun menegaskan hukum mengonsumsi obat dan vaksin sebenarnya sama dengan hukum mengonsumsi produk pangan, yakni harus halal.
- Vaksinasi dan Imunisasi
Dia berusaha membeberkan fakta-fakta bahan dasar vaksin yang tergolong “haram”, dan data korban yang berguguran akibat vaksin (imunisasi) serta ungkapan para ahli kesehatan tentang dampak buruk memasukan zat (formula) tersebut ke dalam tubuh. Lebih mengerikan lagi vaksinasi (imunisasi) dijadikan program pemerintah dengan alasan perlindungan kesehatan.
Pada umumnya masyarakat telah menelan pemahaman bahwa vaksinasi atau imunisasi sebagai usaha perlindungan tubuh dari penyakit berbahaya. Sayangnya banyak orang belum atau tidak memahami bahan-bahan vaksin itu sendiri, dan mereka hanya beranggapan bahwa vaksin seolah obat kuat atau zat yang penuh vitamin untuk meningkatkan daya tahan dan kebugaran. Seperti diungkapkan dengan polos oleh Suparman, tukang ojek dikawasan Jatiasih Bekasi ketika ditanya tentang imunisasi. “ya setahu saya imunisasi itu untuk memperkuat bayi dari serangan penyakit bahaya. Kalau dia sudah di imunisasi kan dia bisa kebal penyakit...katanya sih begitu, saya mah orang awam,” lukasnya.
Hal senada juga diucapkan Bu Nuri, warga Cilincing, Jakarta Utara. “Saya takut kalau anak tidak diimunisasi, katanya kalau tidak diimunisasi anak gampang kena penyakit. Ya kita mah ikut saja.”
Sementara Syafril, melalui Radio Dakta Bekasi mengaku menolak vaksin meningitis setelah tahu kandungan dan bahayanya, namun dia tak berdaya menjalani program tersebut lantaran sudah jadi program dan tidak bisa berangkat haji bila menolak.
- Definisi Vaksin / Imunisasi
Pada dasarnya, vaksinasi adalah usaha merangsang daya tahan tubuh seseorang dengan memasukan bibit penyakit yang dilemahkan dan diproses dengan bahan lain. Dimasa lalu vaksinasi menggunakan banyak bahan dasar serum bintang, namun penggunaan bahan ini dilarang lantaran dampak buruknya tak terbendung. Lantas vaksin dimordenisir dengan bahan dasar bakteri dan virus. Bila disederhanakan, menurut ahli farmasi dan tanaman obat Universitas Indonesia Dr. Abdul Mu’nim, vaksinasi atau imunisasi adalah usaha memancing daya tahan atau pertahanan tubuh seseorang dengan bahan-bahan tersebut.
Dengan demikian sesungguhnya vaksinasi atau imunisasi tidak ada hubungannya dengan peningkatan daya tahan tubuh, mengingat fungsinya hanya merangsang atau memancing sejauh mana daya tahan tubuh seseorang, karena itu yang dilakukan pada umumnya hanya merangsang daya tahan tubuh dari penyakit tertentu dengan bibit penyakit sejenis. Contohnya untuk menguji daya tahan sesorang, terdapat virus meningitis dengan memasukan vaksin dari bibit penyakit meningitis. Untuk menguji daya tahan seseorang dari penyakit cacar dengan memasukan vaksin dari bibit penyakit cacar, dan begitu seterusnya.
Sebenarnya praktek vaksinasi atau imunisasi bisa dianalogkan terhadap kondisi sosial masyarakat, yaitu ketika kita ingin mengetahui ketahanan atau daya tahan suatu kampung terhadap premanisme dilakukan dengan cara mengirim preman terlatih ke kampung tersebut. Bila daya tahan kampung tersebut baik maka preman tersebut bisa diusir dan dilumpuhkan. Tapi bila pertahanannya kurang baik preman tersebut akan mendekam/berdiam diri menunggu reaksi. Cilakanya bila pertahanan kampung tersebut buruk, bahkan banyak bibit-bibit preman, maka preman yang dikirim bisa dengan mudah mempengaruhi bibit preman dan bekerja sama merusak kampungnya sendiri. WALLAHU A’LAM...
Sementara itu pengsuh Klinik Sehat dr. Agus Rahmadi mengatakan vaksinasi pada prinsipnya adalah melatih tubuh untuk membentuk sistem pertahanan terhadap mikroorganisme tertentu, dengn cara menggunakan mikroorganisme tertentu yang dilemahkan. Namun perlu di ingat bahwa sistem imunitas kita perlu dibooster (di latih) berulang-ulang supaya sistem pertahanan tubuhnya selalu siap bila seandainya ada mikroorganisme masuk.
“Maka dari itu kita seri ng mendengar adanya vaksin yang harus disuntik berkali-kali bahkan ada yang setiap dua tahun atau pada saat SD pun harus diulang lagi. Bila tidak dilakukan berulang maka tubuh tidak membentuk sistem imunitasnya. Tapi pada kenyataannya bila kita perhatikan walaupun sudah diimunisasi tapi masih banyak yang terkena penyakit, sebagai contoh vaksin campak dimasyarakatkan, ternyata masih banyak penduduk kita yang terkena campak padahal sudah di vaksin campak,” ungkapnya.
Dia juga memberikan contoh lain seperti pemberlakuan vaksin cacar, ternyata penderita cacar membengkak, bagitu juga vaksin lainnya. Untuk itu dia mempertanyakan efektivitas vaksinasi. “Kenapa ini bisa terjadi, dimungkinkan banyak faktor, dari cara memvaksinnya, penyimpanannya atau vaksin memang kurang efektif,” ucap Agus Rahmadi.
Belum lagi, lanjutnya seperti diketahui bahwa vaksin banyak menggunakan unsur-unsur haram, seperti yang pernah dihebohkan, diantaranya vaksin meningitis untuk jamaah haji yang mengandung babi. “Sayangnya, dengan alasan darurat, vaksin tersebut tetap diberikan? Tapi mengapa bila darurat kok dilakukan setiap tahun, dan berulang-ulang? Apakah ini tergolong darurat? Bukankah Allah Ta’ala tidak mungkin menjadikan obat dari barang yang haram? Belum lagi bahaya merkuri sebagai bahan vaksin yang banyak mengendap didalam tubuh dapat merusak syaraf dan ginjal (neurotosik dan nefrotoksik),” tegasnya.
Agus Rahmadi menambahkan sebenarnya vaksin diberikan hanya untuk alasan jaga-jaga harus mengorbankan akidah dan kesehatan?
Padahal Allah Ta’ala sudah menciptakan manusia dengan sempurna termasuk sistem imunitasnya. “Kenapa tidak kita berdayakan sistem imunitas kita dengan cara lain tanpa harus menggunakan barang haram dan berbahaya, seperti tuntunan tahnik, mengkonsumsi madu atau habatussauda yang sudah terbukti meningkatkan sistem imunitas?” jelas Agus Rahmadi.
- 3 Persoalan Vaksin
“Sasaran vaksin ini adalah Negara-negara berkambang yaitu Afrika, Asia dan Amerika Latin. Yang mengambil keuntungan dari vaksin ini adalah Negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Masalah vaksin seharusnya adalah concern kita semua untuk memberantasnya,” ucap Joserizal.
Penggunaan barang haram dalam pembuatan vaksin ini diakui oleh produsen vaksin terbesat di tanah air yaitu Bio Farma. Seperti pernah diungkapkan Drs. Iskandar, Apt., M.M ketika menjabat Direktur Pencernaan dan Pengambangan PT Bio Farma kepada Hidayatullah.com beberapa waktu silam. Dia menjelaskan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV).
Selain penggunaan tripsin, produksi vaksin juga menggunakan media biakan virus (sel kultur) yang berasal dari jaringan ginjal kera (sel vero), sel dari ginjal anjing, dan dari retina mata mata manusia.
Sementara kepala divisi produksi vaksin virus PT. Bio Farma, Drs. Dori Ugiadi mengatakan, ketiga sel kultur tersebut dipakai untuk pengengembangan vaskin influenza. “Di Bio Farma, kita menggunakan sel ginjal monyet untuk produksi vaskin polio. Kemudian sel embrio ayam untuk peroduksi vaksin campak,” ujar Dori seraya menambahkan secara umum produksi vaksin masih menggunakan berbagai macam sel yang berasal dari hewan maupun manusia.
Bio Farma juga dipercaya memproduksi vaksin flu babi (H1N1) secara masal pada November 2010, setelah melakukan clinical trial (uji coba klinis) akan dilakukan pada maret 2010. Vaksin H1N1 baru atau A-H1N1 (virus flu babi yang menular dari hewan ke manusia) akan di produksi secara masal oleh PT. Bio Farma pada November 2010. Antar news melansir, produksi vaksin H1N1 baru ini sebanya sepersepuluh dari jumlah penduduk indonesia dan distribusi vaksin secara gratis akan di prioritaskan kepada petugas yang merawat pasien flu babi atau flu burung, ibu dan anak-anak. Sedangkan pembuatan vaksin H5N1 (flu burung) akan dilakukan pada awal 2011.
“Yang jelas, produksi itu tidak akan terlambat, karena virus itu mudah bermutasi dan tinggal mengganti strain (galur/regangan). Kami akan memproduksi 27 juta dosis pertahun dan akan didistribusikan kepada masyarakat secara geratis dengan dana dari APBN sebesar Rp. 1,3 triliun mulai dari penelitian pada tahun 2008-2009 hingga produksi pada tahun 2010-2011,” kata Dirut Bio Farma Iskandar.
- Cara Membuat Vaksin
1. Penyiapan medium( sel vero) unuk mengembangbiakkan virus.
2. Penanaman/inokulasi virus
3. Permanenan virus
4. Pemrnian virus
5. Inaktivasi/ atenuasi vitus.
Penyiapan media (sel vero) untuk pengembang biakkan virus dilakukan dengan menggunakan mikrokarier, yaitu bahan pembawa yang akan meningkatkan sel tersebut. Bahan tersebut adalah NN diethyl amino ethly (DEAE). Pada proses selanjutnya sel vero ini harus dilepaskan dari mikrokarier menggunakan enzim tripsin. Saat ini, enzim tripsim umumnya didapat dari pankreas babi. Tahap selanjutnya adalah pembuangan larutan nutrisi. Hal ini dilakukan dengan proses pencucian menggunakan larutan PBS buffer. Larutan ini kemudian dinetralkan dengan menggunakan larutan serum anak sapi (calf serum). Larutan yang tidak digunakan tersebut dibuang atau menjadi produk samping yang digunakan untuk keperluan lain.
Sel-sel vero yang sudah dimurnikan dan dinetralisasi itu kemudian ditambahkan mikrokarier yang baru dan ditempatkan di bioreactor yang lebih besar. Di dalamnya ditambahkan zat nutrisi yang tahap selanjutnya dalam proses pembuatan vaksin ini adalah perbiakkan sel vero menjadi produk bulk yang siap digunakan. Dalam tahap ini dilakukan proses amplifikasi (pembiakkan sel dengan mikrokarier), pencucian sel vero dari tripsim, inokulasi virus (pembiakkan virus pada sel vero), panen virus, filtrasi, pemurnian dan inaktivasi.
Untuk pembuatan vaksin rabies misalnya, dengan percobaan adalah otak mencit (tikus kecil) yang mengandung virus rabies. Virus yang sudah pernah dipanen dapat disimpan pada suhu – 20 derajat C (freezer) baik dalam bentuk otak menyit segar yang di rendam dalam dulbecco’s modified eagle medium (DMEM) produksi FLOW, lab yang mengandung 20 % foetalbovine serum (SBS) maupun dalam bentuk supernatan. Hewan percobaan yang digunakan adalah 9 ekor mencit putih umur 3 minggu yang sudah lepas sapih dan sehat. Untuk tujuan pengembangbiakkan virus dalam rangka pelestarian, 6 disuntik virus rabies, sedangan 3 ekor untuk control negativ atau tidak diberi perlakuan apapun. Bahan lain yang dipakai adalah phosphate buffer saline (PBS) pH 7,2 yang mengandung anti biotik penisilin dan streptomisin 1.
Sedikit berbeda untuk menumbuhkan sel vero dalam jumlah yang besar.sel vero yang sudah bertambah jumlahnya ini kemudian dilepaskan lagi dari mikrokariernya dengan tripsim babi lagi. Proses ini berlangsung secara berulang-ulang sampai dihasilkan sel vero dalam jumlah yang diinginkan. Titik kritis ditinjau dari sudut kehalalan dalam pembuatan sel vero ini adalah penggunaan enzim tripsim. Tripsim digunakan dalam proses pembuatan vaksin sebagai enzim proteolitik (enzim yang digukan sebagai katalisator pemisahan sel atau protein).
Tripsim dipakai dalam proses produksi OPV (Oral Polio Vaccine). Sebenarnya dalam setiap tahapan amplivkasi sel, tripsim harus dicuci bersih oleh karena tripsim akan menyebabkan gangguan pada saat sel vero menempel pada mikrokarier. Sementara yang masih yang masih menjadi polemik adalah pembersihan vaksin dari unsur najis/babi? Untuk itu persoalannya adalah apakah ada yang bisa menggantikan debu dan air untuk mensucikan sesuatu dari najis?
- Sejarah Vaksin
Dalam perkembangannya pada abad ke-19, serum/kuman atau virus dan materi berbahaya lainnya dijadikan amunisi sebagain senjata biologi dalam peperangan atau pemusnahan massal serta penyebaran racun yang dapat menyerang dan menghancurkan otak dan sistem syaraf pusat. Di abad 20, vaksin modern yang dikelola oleh Flexner Brothers, ternyata kegiatan mereka dalam penelitian tentang vaksinasi pada manusia di danai oleh keluarga Rockfeller. Sedangkan Rockfeller sendiri adalah salah satu keluargaYahudi yang paling berpengaruh di dunia, dan bagian dari Zionisme Intenasional yang memprakarsai pendirian WHO dan lembaga dunia lainnya.
Pendeknya dari data historis bahwa vaksinasi di jadikan program Zionisme Internasional dalam rangka menggapai misi “New World Order” (Tatanan dunia baru) untuk melestarikan kekuasaan Yahudi. Sementara program vaksin ini merupakan bagian dari strategi misi pengendalian jumlah penduduk. Dalam memuluskan program ini mereka meraup dua keuntungan sekaligus, yakni penduduk terkendali dan menuai keuntungan yang besar.
Artinya boleh jadi niat busuk Yahudi senada dengan teori, bila ingin senjata laku maka ciptakan perang. Begitu juga dalam masalah ini, mereka beranjak dari teori bila ‘obat’ (produk farmasi) ingin laku dan membuat orang lain menderita ciptakan penyakit. Dengan strategi pembodohan ini Yahudi berusaha bangsa lain menderita sambil menguras isi kantongnya dengan alasan kesehatan.
Sedikitnya ada 4 cara membuat vaksin yaitu: pembuatan vaksin dari virus yang dimatikan (tujukan WHO saat ini), vaksin dari virus hidup yang dilemahkan, vaksin virus hidup rekombinan menggunakan virus baculo, dan vaksin DNA.
Lebih jelas lagi tentang penggunaan barang haram untuk vaksin ini pernah ditegaskan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Husniah Rubiana Thamrim kepada media yang membenarkan dalam proses pembuatan vaksin meningitis yang diwajbkan untuk calon jamaah haji bersentuhan dengan unsur babi.
“Dari hasil pemeriksaan kami dan evaluasi yang dilakukan, pada proses pembuatan vaksin meningitis memang benar bersentuhan dengan unsur babi. Hanya saja, dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap produk yang dalam proses produksinya bersentuhan dengan bahan haram, adalah haram,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (27/6/09).
Anna Prianggani, dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI pun menegaskan kebenaran dalam proses pembuatan vaksin meningitis menggunakan bahan media dari lemak babi (gliserol). Karena pihaknya pernah diundang depkes untuk mendengarkan proses pembuatan vaksin meningitis dari produsennya dari Belgia.
Menurut Wakil Direktur LPPOM MUI DIY Bidang sertifikasi Prof Umar Santosa, MSc, apabila dalam proses produksi vaksin menggunakan unsur babi hal ini telah mengharamkan proses selanjutnya. Dalam menentukan haramnya suatu produk itu mendahulukan sistem manajemen produk dan komitmen analisis kimia.
Bila Departemen Kesehatan memandang vaksin meningitis itu tidak haram, karena Departemen Kesehatan hanya melihat produk akhinya saja. Padahal untuk mendeteksi produk akhir itu tergantung dari ketelitian deteksi dan ini juga tergantung dari peralatan yang dimiliki. Bagi yang tidak mengetahui prinsip-prinsip halal suatu produk memang hanya melihat dari hasil akhirnya saja. Padahal, ia menambahkan, pada prinsipnya segala sesuatu yang diproses dari bahan haram semuanya akan menjadi haram. (Republika Online, 14/6/09).
- Peraturan Badan POM
Adapun pada ayat 8 menyatakan produk obat dan produk biologi yang pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi/porcine yang dicantumkan informasi dalam kotak dengan warna merah di atas dasar putih : “pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi dan telah di purifikasi sehingga tidak terdeteksi pada produk ahir”.
Izin juga tidak diberikan pada produk yang berasal dari setiap binatang yang mempunyai kuku pencakar yang memakan mangsanya secara menerkam atau menyamba, binatang-binatang yang dilarang oleh islam membunuhnya seperti lebah, burung hu-hud, kodok dan semut, daging yang dipotong dari binatang halal padahal binatang tersebut masih hidup, setiap binatang yang beracun dan memudharatkan apabila di makan, setiap binatang yang hidup di dua alam seperti kura-kura, buaya, biawak, dan sebagainya, dan darah, urine, fases (kotoran) serta plasenta.
Sementara pada Bab III tentan produk obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan, dijelaskan pemerintah tidak memberikan izin edar dari produk yang bersumbar, mengandung atau berasal dari bahan tertentu. Bahan tertentu yang dimaksud diurai dalam BAB 1 pasal 2 yaitu babi, anjing, dan anak yang lahir dari perkawinan keduanya, bangkai, termasuk binatang mati tanpa disembelih menurut cara islam kecuali ikan dan belalang, tiap binatang yang dirasa menjijikkan menurut fitrah manusia untuk memakanya seperti cacing, kutu, lintah dan sebagainya, setiap binatang yang mempunyai taring.
Pada Bab IV Pasal 6 dinyatakan bahwa produk makanan dan minuman yang bersumber mengandung atau berasal dan bahan tertentu tidak diberikan izin edar. Dan dikecualikan pada produk makanan dan minuman yang bersumber, mengandung atau berasal dri babi harus mencantumkan tulisan dan gambar mengandung babi + gambar babi. Persoalannya, sudahkah peraturan ini ditaati? Pasalnya betapa banyak obat, makanan & minuman, obat tradisional, kosmetik yang diduga kuat bersumber, mengandung atau berasal dari babi dan barang haram lainnya, termasuk vaksin ?
- Vaksin dan Kepentingan Bisnis
Alhasil para pelaku vaksin sebaiknya ditanya, “Apakah untuk melindungi rumah kita dari tikus, kita harus memasukkan dan memelihara tikus dirumah?” Atau “Apakah bila kita ingin melindungi kamar dari ular, kita simpan ular ganas di kamar?” Atau “Apakah bila kita ingin melindungi diri dari godaan dan tipu setan, lantas kita harus memasukkan setan ke tubuh?” Nah berikutnya, “Apakah bila kita ingin melindungi diri dari penyakit, lantas kita harus menelan dan disuntik bibit penyakit?” Untuk itu sangat mustahil menghindari keburukan baru.
Bukankah usaha vaksinasi hanya akan memberikan pembenaran semakin banyaknya orang yang terinfeksi penyakit tertentu dan terjadinya penyebaran penyakit di daerah atau negara tertentu, padahal sebelumnya aman-aman saja? Artinya semakin banyak manusia yang di vaksin hanya akan memberikan alasan kuat terjadinya wabah penyakit di daerah atau negara tersebut, apalagi pada ahirnya mereka yang divaksin setelah diperiksa ulang benar-benar terjangkit penyakit tersebut, walaupun sebelumnya sehat dan bebas dari penyakit itu?
Belum lagi dampak dari vaksin (imunisasi). Pasalnya ada vaksin yang aktif dan pasif, maksudnya; vaksin aktif, bila vaksin itu diberikan reaksinya bila secara cepat bereaksi, sedangkan yang pasif reaksinya bisa terjadi dalam waktu relatif lama (bisa lebih dari satu tahun). Dampak buruk yang mengganggu kesehatan, khususnya balita, sangat memungkinkan dengan indikasi semakin banyak orang tua yang membawa anaknya sakit-sakitan atau mengalami gangguan mental untuk berobat. Pada gilirannya kantong mereka terkuras, lantara harus rutin berobat? Apakah hali ini pernaah direnungkan sebagai dampak b-uruk dari vaksin.
Bila dikaji ulang, pemberian vaksin (imunisasi) bertentangan dengan aturan yang dikeluarka Badan POM RI sendiri yang tidak memberikan izin edar produk yang bersumber dari bahan tertentu. Bukankah vaksn di ambil dari darah yang mengandung penyakit dan terlibstnys babi dan bahan berbahaya lainnya? Belum lagi aturan lembaga tersebut yang harus mencantumkan “Bersumber Babi” dan penjelasan prosesnya bagi produk-produk farmasi?
- Hentikan Vaksin
Dia mendapati semakin banyak jenis vaksin dan imunisasi mulai balita sampai dewasa, antara lain mulai usia bayi 0 – 1 minggu diberikan vaksin hepatitis ketika 2 jam kelahiran, 1 minggu – 3 bulan diberikan vaksin BCG, DPT I – DPT V, hepatitis I - - III, Polio I - IV, Usia 1 tahun vaksin campak, usia 1 – 3 tahun diberi vaksin MMR (Measles/campak Mumps/ gondong, Rubella/campak jerman), usia kelas VI SD diberi vaksin DPT VI. Sedangkan bagi dewasa diberlakukan vaksin anti kangker serviks, vaksin TT untuk ibu hamil, vaksin maningitis, untuk calon jama’ah haji, vaksin rabies, vaksin pnemucocus, samllpox, influensa, demam tifoid, cacar air, hepatitis A dan lainnya.
Menurut bidan Emma vaksin hepatitis B membuat organ-organ tubuh bayi terutama liver menjadi sangat terpaksa/ berat merespon virus virus dan zat kimia. Hal ini memungkinkan terjadi kelemahan fungsi liver untuk tahap kehidupan berikutnya. “Usia bayi sangat jauh tertular hepatitis, dan dan vaksin yang diberikan malah mengancam livernya. Yang jelas setiap langkah dan gerak kita akan Dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Ta’ala, termasuk mengapa kita menzdolimi anak-anak dengan bahan-bahan yang haram dan buruk,” Ujarnya seraya menegaskan bahwa Allah Ta’ala berulang kali menjelaskan dalam Al -Qur’an bahwa musuh nyata bagi manusia adalah setan bukan virus, kuman atau bakteri.
Pada diskusi bertanjuk “Vaksinasi, masihkah diperlukan?”, yang digelar Forum Kajian Tokoh Muslimah-Hizbut Tahrir Indonesia, di Gedung Wisma Dharma Sakti, Jakarta (27/8/09) dengan pembicara Dr. Rini Syafri, M.Si dari DPP HTI dan dr. Flora Ekasari, Sp.P, praktisi kesehatan dari RS Pusat Angkatan Udara, terdapat kesimpulan bahwa vaksinasi hanya menjadi mimpi buruk bagi dunia akibat berlakunya sistem sekuler. Sebagaimana dirilis Hidayatullah.com, Rini Syafitri menyatakan bahwa vaksinasi berdampak mencelakakan manusia. Hal inilah yang memaksa AS mendirikan The Vaccine Adverse Events Reporting Syistem (VAERS), yang mencatat berbagai reaksi buruk yang disebabkan oleh berbagai program vaksinasi. Diantaranya vaksinasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), Hib (Haemophilus influenzae b), MMR (Measles/campak Mumps/ gondong, Rubella/campak jerman), OPV (Oral Polio Vaccine). Menurut laporan VAERS, dari tahun 1999-2002 tercatat 244.424 kasus, dengan 2866 kasus kematian. Begitu serius-nya, sehingga kongres AS mem-berlakukan Undang-Undang Kompersasi Cendra Vaksin Anak-anak Nasional pada tahun 1986 dan mewajibkan pencatatan kejadian buruk. Bahkan kesadaran masyarakat AS dan beberapa negara Eropa seperti Prancis, Kanada, Inggris dan Belanda telah membatalkan beberapa program vaksinasi berbagai efek negatif ini, kata Rini, ditimbulkan sejumlah bahan berbahaya yang terdapat dalam vaksin seperti mikroorganisme (bakteri atau virus) yang dilemahkan atau dimatikan, logam berat (thimerosal), dan alumunium hidrosikda. Potensi bahaya vaksin juga terjadi dikarenakan proses pemberiannya. Sebab, berbagai bahan asing itu dipaksakan masuk ke dalam tubuh.
Namun, kata Rini, Berbagai catatan kelam seputar program vaksinasi seolah lenyap. “terhimpit oleh jurnal-jurnal ilmiah dan laporan WHO yang datang membawa segudang data. Orang menjadi tidak mendapat kesempatan untuk bertanya: Benarkah semua data tersebut? Benarkah tidak ada kepentingan perusahaan vaksin didalamnya”
Dengan sekelumit uraian tentang vaksin (imunisasi) yang tidak sedikitpun ada manfaat yang bisa dipetik, bahkan sebaliknya memasukan virus dan barang beracun itu membahayakan dan mengancam kesehatan jasmani dan rohani dalam waktu cepat atau lambat? Apakah dari data dan fakta yang ada masih belum cukup? Terlebih lagi Islam jelas-jelas melarang mengkonsumsi dan menggunakan barang haram untuk pengobatan maupun perawatan kesehatan?
Untuk itu Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhamadiyah Dr Abdul Fatah Wibisono menghimbau masyarakat agar lebih berhati-hati mengguanakn produk-produk yang ditengarai terkontaminasi benda najis, terutama babi.
Sementara Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Dewan Dakwah Islamiyah Abdul Wahid Alwi, MA Mengingatkan dalam masalah Vaksin sebaiknya dikembalikan pada kaidah ushuliyah fiqh: La Dharar Wala Dhirar, yakni dalam melakukan sesuatu tidk boleh mengundang bahaya atau mudharat kepada siapapun termasuk kepada diri sendiri. Selain itu juga didasarkan pada kaidah dilarangnya kita menjuruskan diri dalam kerusakan atau kebinasaan.
“karena itu semuanya harus dilihat efek sampingnya, baik atu tidak?” ucapnya.
Dengan demikian apakah mungkin kita mendapatkan kebaikan dari suatu keburukan yang bersarang di tubuh kita? Lebih jauh apakah kita enggan untuk belajar dan menelaah siapakah sebenarnya ‘otak’ dibalik imunisasi dan apa mau mereka? Bila tujuan mereka adalah pemusnahan massal dan bisnis semat melalui penyebaran racun, pertanyaannya, maukah kita diracuni dan dibodohi?
WALLAHU A’LAM... (EU)
Sumber : Tabloid Bekam Edisi 4/TH.1/2010
0 komentar :
Posting Komentar