oleh: Novi Indriani
pic. |
Kini, aku berjumpa lagi dengan September, bertemu dengan gedung itu yang tak menua. Sama seperti tahun lalu, kelambu berwarna biru tua menghiasai setiap jendelanya, lantai keramik coklat muda yang masih basah.
Kerasnya alunan distorsi mampu memecahkan gendang telingaku yang menggodaku untuk melangkah memasuki gedung itu. Aku melangkah pasti, dengan senyum merekah dibibirku. Berharap dia yang kujumpai setahun lalu berada didalamnya. Hingga langkah kakiku terhenti pada sudut ruangan, menyandarkan punggungku pada tubuh gedung, ikut menikmati alunan distorsi bersama puluhan orang yang berada didalamnya. Aku menekuk kedua kaki dan kedua tanganku kulipat diatas lututku. Menatap crowd dengan tatapan kosong. Teringat jelas setahun lalu, aku duduk disudut ruangan penuh tawa riang bersamanya, yang masih aku tunggu entah kapan dia menggenggam erat kembali tanganku, memulai hubungan yang baik seperti dahulu meski tak pernah serumpun. Aku kehilangan sesuatu yang belum pernah aku miliki, seseorang yang memutuskan untuk pergi karena kesalahanku sendiri.
Aku buka tutup botol minuman yang sedari tadi berada digenggamanku, masih lengkap dengan merknya. Masih dengan tatapan kosong, aku nikmati setiap tenggakannya hanya untuk melegakan dahaga saja. Namun tiba tiba saja pandanganku terusik, seorang lelaki memasuki gedung dimana aku berada, dengan kaos oblong hitamnya berkibar tertiup angin, serasi dengan warna kulit coklat mengkilatnya dibasahi oleh keringat. Berjalan tegap dan langkah yang pasti, terlihat urat urat yang menghiasi betis dibawah celana cargo hitam selututnya. Sesekali terlihat ia menghisap nikotin yang berada disela jari tengah dan jari telunjuknya, menghempaskan asap yang berada didalam mulutnya terbang sebebas bebasnya dengan pandangan tajam kedepan menatap stage.
Lama kutatap dan berusaha mengikuti deruan nafasku yang penuh irama. Bibirnya yang hitam bergetar serta sayup matanya yang merasa kelelahan. Bulir bulir asin peluhnya, bagai asam bergaram riwayatku dengannya. Ah! Ia menatapku, namun bukan tatapan seperti dulu yang menyejukkan hati, hanya tatapan angkuh dan dingin yang ia lemparkan padaku. Aku tau apa yang tak terucap dari bibirnya, tatapannya seakan menjelaskan bahwa ia tak suka diperhatikan.
Kualihkan pandanganku pada layar telepon selulerku. Hanya memencet “menu” “exit” begitu saja seterusnya. Aku menggerutu dalam hati, kenapa aku tidak menjadi seorang seperti yang ia inginkan? Aku terlalu membosankan, tak pernah sepemikiran dengannya yang menjadi alasan ia pergi. Kucoba untuk menatapnya lagi, kali ini aku menyerngitkan alisku, menatapnya sinis, disana kulihat dia bersama perempuan yang entah datangnya darimana. Terjadi sebuah percakapan diantaranya yang aku tak tau apa yang dibicarakannya. Hingga menciptakan senyum tawa dan cubitan cubitan kecil disana. Perempuan itu aku! Sebelum tergantikan oleh pemain baru, setahun lalu. Gigi atas dan bawahku bergesekan terus menerus menahan air mata yang akan tumpah dari kedua retinaku.
Aku muntahkan segala kesedihan bersama air mataku yang kini mengalir getir di pipiku, sebab duka laraku tak pernah menjadi racun bagimu. Aku meneteskan air mata karena aku tersadar, keindahan yang berlalu terlalu manis jika hanya sekedar untuk dilupakan. Melepas ada yang tak mungkin teraih. Aku tak sempat membuat hatiku retak dengan indah, semuanya berakhir tanpa mampu kukendalikan.
Aku beranjak meninggalkan tempat itu, berlari, seolah menghindari musim bermukim dilangit kelam. Untuk kesekian kali aku harus belajar mengikhlaskan, belajar melepaskan, belajar bahwa aku dengannya akan tetap menjadi sebuah kenangan yang indah meski tak pernah serumpun.
ilustrasi:caping. sumber foto:akun fb penulis
0 komentar :
Posting Komentar