Kasus Sepele (bagian pertama)


Paiko sedang menunggu pacarnya bercinta dengan tamu terakhirnya ketika polisi menggerebek rumah bordil. “Kamu akan segera dibebaskan” Sersan berulangkali memberitahunya. Jadi mengapa dia sekarang berdiri di depan Presiden dan Panglima Republik Rimba, pengadilan jadi-jadian di Area F, yang memiliki “ruang penyiksaan terburuk di seluruh penjuru negeri”? Dan bisakah kekuatan berceritanya menyelamatkannya?

www.openclipart.org
E. C. Osondu 


Diterjemahkan oleh: Muhammad Azka Fahriza





*

“Kasusmu ini sepele, kau akan segera dibebaskan,” Sersan memberitahu Paiko. Paiko ditahan lebih dulu malam itu saat polisi menyerbu Hotel Jolly, rumah bordil tempat mangkal lebih dari tiga puluh pelacur.

Menjelang subuh, Paiko masih duduk di meja kayu usang di belakang meja kantor. Dia mulai cemas. Penahanannya sepertinya untuk mencegahnya pergi ke kiosnya di Pasar Alade, tempat dia menjual pakaian dan tas bekas yang dikenal sebagai Okrika Bangun Pagi. Semenjak penahanannya, Manis, yang dia tunggu untuk menuntaskan senggama dengan tamu terakhirnya, sehingga mereka bisa pulang bersama, belum datang mengunjunginya di kantor polisi. Dia mengenang percakapanya dengan Manis beberapa waktu lalu, saat pertama kali dia memberitahukan keinginannya untuk menjadikannya perempuan spesial. Dia tersenyum dan memberitahunya bahwa siapapun yang menginginkan seorang ashewo, pelacur, sebagai pacarnya harus siap-siap diborgol dan bersedia menghabiskan beberapa waktu di kantor polisi. Dia selalu beruntung sampai tadi malam. Biasanya dia bisa menyuap polisi, kapanpun mereka datang menggerebek Hotel Joly, tapi tadi malam sungguh berbeda. Orang-orang yang menangkapnya merupakan angota Satuan Khusus Anti Perampokan, SKAP, yang baru dibentuk.

Seorang Sersan baru mengambil alih dirinya dari seseorang yang duduk di meja kantor ketika Paiko ditangkap. Paiko melihat wajah Sersan baru itu dengan seksama dan tersenyum. Dia menyukai apa yang dia lihat. Sersan itu memiliki perut buncit, pertanda bagus, dan sepertinya penerima suap.

“Jangan kuatir, kau akan segera dibebaskan, aku yakin temanku yang menggantikanku akan membebaskanku, ” Sersan sebelumnya memberitahu Paiko.

Paiko tersenyum gugup dan tak berucap kata. Dia tidak terlalu kuatir; ini kantor polisi dan bukan stasiun kumuh. Dia menduga jika tidak ada penjahat kambuhan di dalam sel dan bau yang keluar dari sana hanyalah bau dari bekas air kencing. Dia bahagia, bagaimanapun, bahwa dia tidak meringkuk di dalam sel.

Sersan Baru berdehem, lalu meludah di sudut ruangan yang berdebu kemudian menoleh pada Paiko.

“Apa kasusmu, sobat?” tanpa jeda, dia menanyakan pertanyaan yang sama dengan cara yang berbeda. “Kasus apa yang menjeratmu, Bos?”

Paiko menjadi khawatir; dia pikir Sersan sebelumnya telah menjelaskan kasusnya pada orang baru ini. Dia telah melihat mereka saling mengangguk sambil melihat kepadanya. Paiko mengumpulkan segenap keberanian dan tersenyum pada sang Sersan.

“Saya tidak terlibat kasus apapun, Pak. Saya ditangkap dalam penggerebekan Hotel Jolly, ” Kata Paiko.

“Lalu mengapa kau berkata tidak terlibat dalam kasus apapun, hah? Kau tertangkap dalam penggerebekan rumah bordil itu sudah kasus. Atau kau ingin mengajariku hukum?” Sersan bertanya, menatap Paiko sampai kedua matanya merah. Dari tempat Paiko duduk, ia bisa mencium bau ogogoro, bir lokal, menguar mulut Sersan.

“Oh, sama sekali tidak, Pak; saya tidak mencoba mengajari Anda apapun, Pak,” Kata Paiko.

“Bagaimanapun. kasusmu ini kasus sepele. Kau akan segera dibebaskan,” kata Sersan dan mulai membaca setumpuk kupon judi bola.

Sebentar kemudian, terdengar bunyi dari stasiun radio. Sersan melemparkan kupon lusuh ke samping dan menyambar radio itu. Dia menyapa dengan cergas, perut besarnya bergetar seperti gallon air. 

“Semuanya beres, Sah. Saya Sersan yang bertugas, Sah, apa yang Anda katakan, perampokan bersenjara di Jalan Ikorodo, mobil Komisaris polisi dicuri? Ah, itu sangat serius, Sah.”

Paiko melihat ketika Sersan mulai tersentak gugup, dia terus menggaruk pantat besarnya di sisi seragam lusuhnya yang ditambal di tiga tempat.

“Tidak masalah, Sah, kita punya cukup tahanan di sini. Anda bisa datang dan mengangkutnya dengan Land Rover. Kami tidak punya kendaraan di kantor. Di sini kantor kecil, tapi kami bisa menyediakan petugas yang Anda butuhkan untuk pengawalan, sama sekali tak masalah, Sah.”

Sersan tiba-tiba berteriak, membentak, dengan tatapan binatang buas.

“Semua bangsat di dalam sel, bentuk barisan dan mulai keluar satu persatu dengan mengangkat tangan. Siapapun yang coba bikin ulah, aku akan menembak tanpa ragu, dan keluargamu akan mengambil mayatmu di kamar jenazah.”

Dia membuka pintu sel dengan segenggam kunci yang ia ambil dari meja kayu yang terpaku di tembok. Enam lelaki terseok-seok, terlihat bingung dan limbung. Sementara itu Paiko duduk dipojokan, dia tidak menduga jika sel itu ditempati para lelaki sekasar itu. Sersan menoleh pada Paiko dan berteriak.

“Apa yang kau lakukan di situ? Ikut berbaris, jadilah orang pertama dibarisan, dan angkat tanganmu ke atas atau kutembak sekarang juga. ”

“Tapi Tuan, saya bukan penjahat. Anda sudah mengatakan pada saya kalau kasus saya ini sepele. Saya pun sudah memberitahu Anda kalau saya ditahan di Hotel Jolly,” Paiko tergagap-gagap. 

Sersan berjalan ke arah Paiko dan memberi satu tamparan keras di wajahnya. Paiko mengerjap-ngerjap, mencoba menghilangkan bintang di atas kepalanya.

“Sekarang bergabung ke barisan sebelum aku mengenyahkanmu,” kata Sersan. Paiko berjalan tersandung-sandung, kakinya goyah dan tangannya terangkat sebagaimana tahanan yang lain.

Land Rover butut milik polisi tiba, dan Sersan menggiring sekelompok lelaki itu keluar. Seorang inspektur dengan tiga tanda suku melintang di kedua sisi wajahnya melompat keluar, dan Sersan menyapanya dengan cergas.

“Apakah mereka para perampok itu?”

“Ya, Sah, mereka perampok bersenjata yang saya ceritakan pada Anda tadi, Sah.”

“Mengapa mereka memakai pakaian seperti itu?”

“Sah, mereka berpakaian seperti ini ketika kita menangkap mereka di tempat kejadian, Sah.”

“Kalian semua, lepas celana dan kaos kalian. Dan kalian, jangan lama-lama,” Inspektur berkata pada paiko dan beberapa lelaki lainnya. Paiko sempat berpikir untuk memberitahu Inspektur bahwa dia bukan perampok bersenjata, tapi mengurungkannya dan memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat. Para lelaki sudah melepas pakaian dan berdiri hanya bercelana dalam, yang berbeda warna, ukuran dan kumalnya. Sersan memerintahkan mereka melompat di belakang Land Rover. Dia merasakan keragu-raguan di antara mereka. Mengeluarkan pistol, dia mengangkat, lantas menembakkannya di udara. Paiko melompat tergopoh-gopoh di belakang Land Rover sampai kepalanya terbentur logam keras. Ketika bau minyak dari asap hitam kendaraan memenuhi hidungnya, dia mulai menangis seperti bayi. Kendaraan keluar dari kantor polisi, dan mereka menuju Area F, markas komando kepolisian negara. 

Para lelaki di sekitarnya segera mendengar suaranya dan mulai berbisik-bisik.

“Ke mana mereka membawa kita?” suara dari kegelapan bertanya.

“Ke Area F, sekarang, kantor pusat mereka.”

“Ah, kuberitahu, Area F itu tempat yang buruk. Itu salah satu tempat di mana aku tidak pernah ingin kembali lagi. Disana mereka memiliki ruang penyiksaan terburuk di seluruh negeri ini”

“Tapi mengapa mereka membawa kita kesana?” tanya suara yang lain.

Paiko berdeham dan berbicara untuk pertama kali. Dia mendengarkan suaranya ketika kata-kata itu yang keluar, hampir seolah-olah kata-kata tersebut tidak ada di sana. Mulutnya terasa bagai instrumen yang terpisah sama sekali dari dirinya.

“Aku mendengar Sersan berkomunikasi melalui radio. Dia mengatakan komplotan perampok bersenjata merampok kendaraan Komisioner dan mereka butuh penangkapan cepat. Tidak lama setelah itu, Inspektur itu datang.”

“Ah, itu berarti mereka akan membawa kita sebagai perampok bersenjata yang merampok mobil Komisioner. Mereka menyuruh kita melepaskan pakaian sehingga kita tampak seperti perampok sungguhan. Kita masih beruntung karena mereka tidak menembak beberapa dari kita di kaki. Kadang-kadang mereka ingin meyakinkan masyarakat bahwa kawanan perampok mencoba kabur, atau mereka menangkapnya setelah pertempuran senjata yang sengit”, sebuah suara penuh pengalaman terdengar dari kegelapan.

“Ruang Penyiksaan Area F adalah yang paling buruk, kecuali Ruang Penyiksaan Rahasia Alagbon di GForce ID.” Suara tersebut tampak mendapatkan kepuasan dari kisah yang diucapkan.

“Di Area F, mereka mempunyai kait besar di langit-langit. Mereka mengikat tangan dan kaki tahanan seperti ayam panggang. Mereka menggantung tahanan itu terbalik dan menggunakan tongkat keras dan koboko untuk mencambuki seluruh tubuh mereka, dan mengingatkan mereka untuk mengaku baik itu kejahatan yang kau lakukan atau tidak.” Lelaki yang sama berkata sambil tertawa kecut.

Paiko mulai bertanya-tanya mengapa mereka melakukan semua ini. Dia merasakan keringat hangat bercucuran dan meluncur sampai anusnya. Lelaki yang sama berdeham dan melanjutkan ceritanya.

Sersan Penyiksa akan memegang penis tahanan di tangannya dan memasukkan jeruji sepeda karatan ke dalamnya. Kadangkala, jika dia tidak ingin terlalu menyakitimu, dia akan menggunakan gagang sapu lancip, ah, di sana na waya,” dia menyimpulkan.

Land Rover polisi memasuki Area F. Sebelum kendaraan benar-benar berhenti Inspektur melompat keluar dan ketika berhenti, kendaraan telah dikepung sekelompok lelaki bersenjata yang diangkat ke atas. Beberapa diantara mereka mengenakan celana pendek khaki dan singlet hitam dan baret; yang lain bertelanjang dada dan secara sembrono mengayungkan senjatanya ke kanan dan ke kiri. 

Area F mempunyai pagar berwarna susu yang mengelupas di sekelilingnya. Di luar pagar, beberapa asongan menenteng tas berisi air minum kemasan; diantaranya menjual roti yang tampak basi dan pia goreng. Setelah kendaraan berhenti di halaman, Paiko dan tahanan lainnya digelandang masuk ke kantor polisi.

“Kau bisa mencatat pengakuan mereka nanti. Mereka penjahat berbahaya. Mereka merampok Komisioner di mobilnya. Aku akan memasukkan mereka langsung ke dalam sel,” Inspektur yang menggelandang Paiko dan lainnya berkata pada Kopral di meja kantor. Dia memerintah Paiko dan yang lain membentuk satu barisan dan, dengan tangan terangkat, mereka berjalan menuju sel.

Sel tersebut adalah ruangan sempit dengan lampu bohlam tergantung sangat jauh dari beton langit-langit; lantainya gelap dan kotor oleh air kencing, air mata, keringat, dan tinja. Paiko tidak dapat melihat jalan ketika dia berjalan ke dalam sel dan menginjak seseorang yang berbaring di lantai.

“Siapa yang datang itu, manusia atau binatang?” suara parau menyalak.

Paiko melangkah dengan hati-hati. Ketika matanya sudah beradaptasi dengan kegelapan sel, ia mulai melihat setidaknya tiga komplotan lelaki yang membentuk lingkaran. Jendela kecil tidak jauh dari dinding, diselingi tiga warna gelap, jeruji besi berkarat, merupakan satu-satunya jalan masuk udara ke dalam sel. Udara panas seperti dipancarkan dari oven toko roti. Di pojokan sel terdapat lubang jamban kecil yang dibersihkan untuk pendatang baru. Lelaki yang dilangkahi Paiko berdarah karena luka tembak. Lelaki lainnya berlutut di sampingnya dan mengoleskan balsem Cina beraroma kuat ke luka barunya. 

Suara yang sama menanyakan pertanyaan ketika para penghuni baru datang bertanya kembali dengan suara mengamuk.

“Siapa disana, manusia atau binatang?”

“Binatang,” jawab lelaki yang sebelumnya berbicara tentang kekejaman itu dalam perjalanan menuju Area F. Suara lainnya menjawab, “Manusia.” 

Lelaki itu berdeham dan tertawa lantang, tawanya jelas tanpa humor, dan ketika dia tertawa, penghuni sel lainnya, kecuali pendatang baru, tertawa bersamanya. 

SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar