Saya telah membaca sebuah buku yang berjudul, "Keluar dari Kemelut" yang ditulis oleh seorang ekonom sosialis benama Schumacher. Dalam buku tersebut, ada gambaran menarik yang ia nukil dari pengalamannya di sekolah dulu tentang arti sebuah peta. Ia berkisah pada suatu hari saat ia pergi ke suatu destinasi wisata ke Soviet. Di sana Schumacher menghadapi masalah sebab tak menemukan apa yang ia maksud dengan masjid yang tengah ia hadapi dalam peta wisata yang ia pegang. Saat dikonfirmasi kepada seorang guide yang menemani, Schumacher hanya mendapatkan jawaban bahwa peta tersebut merasa tidak perlu mencantumkan apa yang dimaksud oleh Schumacher.
Rasanya kita mengalami hal yang sama dalam kehidupan ini. Banyak sekali hal yang terjadi dan berlangsung. Namun seperti dalam peta tadi, bahwa tidak seluruh kejadian atau obyek itu menarik dan perlu mendapat perhatian. Schumacher kecewa dengan penggambaran peta yang seperti itu. Baginya sebuah peta harus komplit. Mampu menggambarkan kompleksitas dalam satu lembar kertas. Bukan soal skala, melainkan kemampuan peta betul-betul menjadi sebuah cetak biru dari kenyataan.
Dengan mengambil analogi 'peta' Schumacher tersebut, sepanjang bulan ini kita menghadapi masalah yang sama. Bahwa banyak sekali peristiwa dimana kita diajak untuk memberikan perhatian. Dimulai dari peristiwa 9/11 di Amerika, Peringatan Hari Tani 24/9, terbunuhnya Salim 'kancil' 26/9, dan G30S di penghujung September. Di hadapkan pada kejadian tersebut, mengikut apa yang dianjurkan oleh Schumacher. Apa yang kita perlukan adalah 'peta bumi' yang sanggup menggambarkan kejadian itu dalam satu kerangka berfikir.
Dalam analogi perihal peta tersebut, saya menangkap bahwa Schumacher tengah mengajukan sebuah paradigma falsafi dalam berfikir. Bahwa peta sudah seperti halnya perspektif, dimana kita bisa mengetahui hubungan antara yang obyek/ detil dengan gambaran yang kompleks. Contohnya, Kita tidak bisa melihat G30S per se, tanpa menghubungkannya dengan kondisi ekonomi politik dunia dengan persaingan blok US dan Soviet pada saat itu. Atau peristiwa terbunuhnya Salim, dengan peta bumi bagaimana korporasi tambang memainkan para centeng dan lurah di Lumajang.
Akhirnya, saat peta bumi itu betul-betul berasal dari obyek detil ke kompleks kita telah sanggup memilah mana yang partikular dan gradual dalam satu genggaman. Bahkan, tanpa jasa seorang guide-pun kita sanggup berjalan sendirian di tengah sebuah tempat asing tanpa kuatir tersesat. Dari gambaran ideal peta inilah kita belajar dari Schumacher, bahwasanya kita tidak perlu kaget dan mudah terkejut. Manakala, peristiwa demi peristiwa pilu menghujam bagaikan peluru. Karena kita telah tidak berhenti dari detil saja. (AB)
0 komentar :
Posting Komentar