Sebuah sudut desa butuh pembangunan |
oleh: Yusuf Murtiono
Menyikapi sikap penolakan penyusunan Perdes RKP Desa Tahun 2015 dengan dalih belum diterbitkannya permen, pergub, perda/perbup, sebagaimana dibuat Harian Suara Merdeka Tanggal 26 November 2014, FORMASI perlu menjelaskan beberapa hal hasil analisis, sebagai berikut :
- UU 6/2014 Pasal 78 – 80 yang mengatur perencanaan pembangunan desa tidak satupun klausul pasal yang menyatakan bahwa penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa harus diatur dan berpedoman dengan Permen, Pergub, Perda/Perbup. Artinya proses penyusunan RKP Desa Tahun 2015 tidak ada kewajiban menunggu permen dan bisa menggunakan peraturan yang tetap berlaku sepanjang tidak bertentantangan dengan UU ini (UU 6/2014 Pasal 120)
- 2. Demikian halnya dengan PP 43/2014 Pasal 114 – 122, juga tidak memberikan mandate secara khusus bahwa perencanaan pembangunan desa yang disusun melalui dokumen RPJ MDesa dan RKP Desa harus berpedoman pada permen, pergub, dsb.
- Yang diperintahkan menyusun Perda adalah pembangunan kawasan perdesaan bukan pembangunan desa sebagaimana tercantum dalam Pasal 84 ayat (3) UU Desa “ Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
- Dalam UU 6/2014 Pasal 79 jelas memerintahkan bahwa desa harus menyusun RPJM Desa dan RKP Desa untuk merumuskan prioritas pembangunan desa dan menjadi dasar penyusunan APB Desa. Artinya jika desa tidak menyusun RKP Desa tahun 2015, maka desa otomatis tidak bisa menyusun APB Desa dan melaksanakan pembangunan sesuai kewenangan desa yang dimiliki. Dengan tegas disebutkan dalam PP 43/2014 Pasal 118 ayat (7) bahwa RKP Desa menjadi dasar penetapan APB Desa. ( Juga diatur dalam PP 60/2014 Pasal 20 )
- Tahapan musrenbang desa di kabupaten Kebumen sudah berjalan sesuai dengan yang diperintahkan melalui Surat Edaran Bupati, sehingga hasil musrenbang desa tersebut wajib menjadi kesepakatan desa yang dituangkan dalam Perdes RKP Desa 2015.
- Kesimpulannya, apabila desa tidak menyusun RKP Desa sesuai hasil musrenbang desa maka secara otomatis desa tidak bisa menyusun dan menetapkan APB Desa. Jika hal ini terjadi maka DD tidak bisa dicairkan (PP 60/2014 Pasal 17). Yang dirugikan tidak hanya masyarakat, tetapi Kepala Desa dan Perangkat Desa sendiri juga tidak bisa menerima SILTAP dan Tunjangan serta operasional pemerintahan desa lainnya.
Dasar Pertimbangan:
- Prinsip kelahiran undang-undang desa ini adalah untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan desa, sehingga pengaturannya harus tetap konsisten terhadap landasan filosofis dan sosiologis diatas (konsideran menimbang huruf b)
- UU 6/2014 Pasal 66 ayat (5)) menyebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunja ngan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
- Pada Pasal 75 ayat (3) disebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dan hal ini dipertegas pada Pasal 79 ayat (5) bahwa RPJM Desa & RKP Desa merupakan pedoman penyusunan APB Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
- PP 43 Pasal 34 ayat (1) huruf d, menyebutkan bahwa tanah kas desa termasuk katagori hak asal usul. UU 6/2014 Pasal 20 “Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa”
- PP 43/2014 Pasal 81 ayat (1) bahwa SILTAP Kades dan Perangkat Desa dianggarkan dalam APB Desa yang bersumber dari ADD (bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
- Sedangkan pada Pasal 81 ayat (5) diperintahkan dengan tegas bahwa besaran Siltap harus ditetapkan dengan Peraturan Bupati. “Besaran penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota”
- Selanjutnya pada Pasal 82 dijelaskan bahwa selain menerima Siltap, Kades dan Perangkat Desa juga menerima tunjangan dan penerima lain yang sah yang bersumber dari APB Desa. Kemudian dalam ayat (3) disebutkan bahwa Besaran tunjangan dan penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota”.
- Pasal 100 menyebutkan bahwa Belanja Desa yang ditetapkan dalam APB Desa digunakan dengan ketentuan: a. paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari jumlah anggaran belanja. Desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; d an b. Paling banyak 30% (tiga puluh perseratus) dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk: penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa; operasional Pemerintah Desa; tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa; dan insentif rukun tetangga dan rukun warga.
- Pasal 106 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan Desa diatur dalam Peraturan Menteri.
- UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 6 ayat (1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
- UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mengatur Diskresi.
Permasalahan dalam penerapan
Level Pemerintah:
- Inkonsistensi dengan pagu DD yang direalisasikan untuk penyusunan APB Desa Tahun Anggaran 2015. Apalagi sejak awal sosialisasi PP 60/2014 asumsi DD selalu dilakukan bertahap mulai dari angka 5% dari total pagu DD, kemudian 7,5% baru mencapai 10%
- Pada Pasal 75 ayat (3) disebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dan hal ini dipertegas pada Pasal 79 ayat (5) bahwa RPJM Desa & RKP Desa merupakan pedoman penyusunan APB Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
- Belum disusunnya beberapa regulasi (permen) yang telah dimandatkan dalam UU maupun PP
- Tidak adanya surat edaran yang dapat dijadikan rujukan daerah untuk melaksanakan perintah UU dan PP sebelum diterbitkannya Permen, terutama ketika terjadi ketidakkonsistensian atau konflik penerapan antara pasal 81, 82 dengan pasal 100 dalam PP 43/2014
- Lemahnya koordinasi lintas seektor dalam mempersiapkan penerapan implementasi UU Desa (kasus muncul sejak fasilitasi musrenbangdesa oleh Bappeda dan Tim)
- Sejak awal musrenbang desa tim kabupaten selalu menekankan bahkan terkesan memaksa desa untuk menerapkan proporsi belanja 30% dan 70% sebagaimana dimaksud PP 43/2014 pasal 100. Padahal logika hukum proporsi 30% dan 70% hanya ada ranah penganggaran bukan perencanaan yang pagu anggaran masih bersifat indikatif.
- Perangkat hukum yang mengatur siltap dan tunjangan serta penerimaan lainnya bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa sesuai mandate UU dan PP tidak direspon cepat oleh pemerintah daerah, meskipun sejak bulan puasa, juga saat beberapa kali pertemuan di Bapermades sudah mencoba kami dorong untuk mempersiapkan perbup, tetapi sampai saat ini belum juga disusun.
- Sejak awal, belum dibangun kesepahaman lintas sector di pemerintah daerah berkait dengan analisa dampak negative manakala pasal 100 tersebut diterapkan
- Kondisi riil di lapangan (desa) permasalahan yang muncul antara lain jika pasal 100 langsung diterapkan secara kaku : a. Siltap yang diperoleh jauh lebih kecil dibanding dengan pendapatan TPAD tahun lalu bahkan minus. b. Jika bengkok dikonversi maka banyak Kepala Desa/ Perangkat desa tombok padahal banyak juga bengkok masih dalam masa sewa, c. Bengkok merupakan hak asal usul yang harus dicatat dalam asset Desa, maka ketika akan dikonversi menjadi tunjangan/siltap maka harus diwujudkan dalam bentuk uang, karena seluruh pendapatan desa harus dicatat dalam rekening desa (PP 43/2014 Pasal 91).
- Pemkab kurang merespon masukan berkait dengan jika pasal 100 diterapkan ketika DD belum sesuai pentahapan yang dijanjikan kementerian, yakni tahap pertama 5%, tahap kedua 7,5% dan tahap ketiga 10% dari mandate UU Desa
Level Desa
- Keraguan untuk menyusun RKP Desa dan APB Desa dikarenakan terbelenggu dengan “pemaksaan” menerapkan perintah pasal 100 dalam PP 43/2014.
- Upaya melakukan manipulasi data untuk menuliskan asumsi pendapatan asli desa, karena berkeinginan memperbesar PADes sehingga belanja bertambah besar yang berdampak pada peningkatan prosentase belanja 30% yang membatasi belanja Siltap, tunjangan, penerimaan lainnya yang sah dan operasional
- Jika desa tidak segera menyusun RKP Desa maka secra otomatis desa tidak bisa membuat RAPB Desa, dan dampaknya penetapan APB Desa tidak tepat waktu (31 Desember), yang akhirnya akan menghambat proses pencairan DD.
- Sikap keengganan untuk menyusun RKP Desa, APB Desa dikarenakan cukup banyak para Kepala Desa dan Perangkat Desa yang pendapatannya terancam berkurang cukup signifikan ketika harus menggunakan pasal 100
Kesimpulan :
- Semua desa harus tetap menyusun RKP Desa 2015 sebagai dasar dan pedoman penyusunan APB Desa tanpa menunggu regulasi tehnis dari atas karena tidak diperintahkan baik dalam UU Desa maupun PP 43/2014.
- Apabila desa nekat tidak menyusun RKP Desa 2015 dan secara otomatis tidak bisa menyusun APB Desa maka masyarakat yang dirugikan karena tidak menerima kue pembangunan. Selain itu, baik Siltap dan tunjangan serta operasional Kades dan Perangkat Desa tidak mungkin bisa diterimakan karena tidak memiliki dasar hokum dalam APB Desa.
- Persoalan yang muncul karena tafsir bebas atas PP 43/2014 antara pasal 81 dan 82 dengan pasal 100. Kondisi ini harus dilakukan pembacaan pasal sesuai hirarki dan dikomunikasikan secara intensif agar dapat terimplementasikan dengan tetap mendepankan prinsip perlindungan dan penguatan desa menuju kemandirian dan kesejahteraan (Konsideran menimbang huruf b)
- Secara prinsip sebelum ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang Siltap dan tunjangan (UU Desa Pasal 66 ayat 5), maka sebaiknya menganggap sekarang adalah masa transisi dan up normal, sehingga jika peraturan tidak mampu memproteksi desa maka tidak wajib untuk dilaksanakan, sehingga tidak ada tafsir bebas yang ujungnya lebih memarjinalkan desa.
- Pemkab harus segera menerapkan UU 30 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa penerapan pasal 100 dalam kondisi Dana Desa belum optimal, maka dinyatakan kondisi Diskresi (Bab VI Pasal 22-32)
- Jika kemudian pemda membuat perbup berdasarkan UU 30/2014, maka ruang-ruang public harus selalu dibuka untuk memberikan kesempatan berbagai elemen desa terlibat secara aktif setiap tahapan proses, termasuk ketika menyusun permohonan persetujuan diskresi kepada Gubernur
sumber: Pattiro
gambar:http://www.panoramio.com/photo/61879217
0 komentar :
Posting Komentar