Memasuki bulan Maret ini detik-detik Pemilu Legislatif semakin dekat, gerilya suara para kontestan semakin gencar dilakukan. Para calon belomba-lomba membekali diri dengan strategi dan program kerja demi meraup dukungan suara pemilih.
Di gang sempit dan jalan-jalan protokol yang biasanya sepi beberapa minggu terakhir seperti tak muat menampung alat peraga kampanye dari partai politik maupun calon legislatif DPRD Tingkat II, I, DPR dan DPD. Berderet-deret saling berjejal, alat peraga dari para kandidat tak mau kalah bersaing sebagai simbol keseriusannya dalam pencalonan.
Pileg di Desa
Pileg di Desa
Moment pemilu legislatif 9 April juga mempengaruhi suasana desa yang biasanya tenang dan rukun. Berkenaan mendekati Pemilu, akhir-akhir ini banyak para tetangga sudah berganti rupa menjadi broker/ makelar suara yang terus bergentayangan melakukan loby-loby (bahkan money politics) kepada calon dan pemilih agar terpengaruh.
Pun begitu serius dan kerasnya para kader partai dan relawan para caleg dan partai mencari simpati dan dukungan, di sisi lain masih dapat kita saksikan lapisan pemilih yang berjumlah besar namun hanya pasrah dimainkan sebagai alat pengungkit suara partai berikut elite yang berkepentingan, yaitu kaum tani desa serta para pemuda pemilih pemula. Karena tak punya basis politik yang kuat, para tani desa dan pemilih pemula mengartikan Pemilu sebagai rutinitas adat dengan datang ke bilik-bilik pencoblosan saja. Kehadiran mereka bukan karena kesadaran yang rasional, melainkan akibat dorongan dan mobilisasi aktor lain. Alhasil, tak jauh muluk-muluk menjadikan pemilihan sebagai event perubahan nasib atau melakukan hukuman untuk elite seperti diharapkan para komentator dan pejuang demokrasi di media televisi, kaum tani dan pemilih pemula lebih banyak dijadikan tumbal untuk memuluskan hidden agenda elite politik.
Pun begitu serius dan kerasnya para kader partai dan relawan para caleg dan partai mencari simpati dan dukungan, di sisi lain masih dapat kita saksikan lapisan pemilih yang berjumlah besar namun hanya pasrah dimainkan sebagai alat pengungkit suara partai berikut elite yang berkepentingan, yaitu kaum tani desa serta para pemuda pemilih pemula. Karena tak punya basis politik yang kuat, para tani desa dan pemilih pemula mengartikan Pemilu sebagai rutinitas adat dengan datang ke bilik-bilik pencoblosan saja. Kehadiran mereka bukan karena kesadaran yang rasional, melainkan akibat dorongan dan mobilisasi aktor lain. Alhasil, tak jauh muluk-muluk menjadikan pemilihan sebagai event perubahan nasib atau melakukan hukuman untuk elite seperti diharapkan para komentator dan pejuang demokrasi di media televisi, kaum tani dan pemilih pemula lebih banyak dijadikan tumbal untuk memuluskan hidden agenda elite politik.
Akhirnya, pendidikan politik sebagai alat untuk menyuntikkan kesadaran kaum tani dan pemuda di desa-desa menjadi penting. Mereka yang sadar diharapkan akan mandiri menentukan arah masa depan politiknya sendiri yang sejati. Terlebih, moment politik pemilihan temporal seperti ini akan berlangsung secara kontinyu. Alangkah sia-sianya Pemilu tanpa adanya warga yang sadar politik, sementara pemerintah sebagai panitia dan para kontestan sebagai peserta telah all out mengerahkan sumber daya politik yang mereka miliki.
0 komentar :
Posting Komentar