Merebut kembali Kedaulatan Desa: Belajar dari Praktek SPPQT


Oleh Ruth Murtiasih Subodro

Pengorganisasian petani berbasis desa
Sebagaimana namanya Qaryah Thayyibah, yang diambil dari bahasa arab yang arti harfiahnya adalah desa yang indah, maka SPPQT[1] meletakkan pengorganisasian petani secara pokok dilevel desa. Dalam AD/ART SPPQT disebutkan Paguyuban Petani adalah organisasi tani yang beranggotakan minimal 5 kelompok tani yang tersebar di dusun - dusun yang berada dalam skup desa. Sedangkan Kelompok Tani adalah organisasi tani tingkat dusun yang beranggotakan 25 – 30 orang petani laki-laki maupun perempuan.

Desa sebagai ruang produksi, sosial - budaya dan politik
Dari awal organisasi berdiri telah mengambil posisi bahwa desa adalah ruang yang penting untuk dipertahankan dan direbut kembali kedaulatannya. Hal ini dilandasi oleh beberapa hal penting, diantaranya; pertama masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah petani mengandalkan kepentingan produksinya mulai dari tanah, air, benih, pupuk dan obat – obatan , yang kesemuanya secara fisik dan geografis berada dalam ruang lingkup desa. Jadi hal yang paling utama dan melekat bagi petani yang terkait dengan kepentingan produksinya berada dalam ruang yang disebut desa.

Kedua, dalam realitasnya desa masih memiliki kekuatan sosial, adat, budaya dan kearifan lokal lainnya yang mesti dilestarikan dan diperkuat kedepan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat. Dibandingkan dengan kota, desa relatif masih memiliki sisa – sisa modal sosial yang bila diperkuat bisa menjadi perekat dan kekuatan masyarakat. Modal – modal sosial tersebut diantaranya adalah sistem lumbung pangan untuk mengatasi musim paceklik, sistem pertolongan ibu melahirkan dan pasca melahirkan yang dilakukan oleh dukun beranak, gotong - royong dan lain sebagainya.

Ketiga,dalam perimbangan politik hari ini yang realitanya didominasi oleh pelaku – pelaku politik yang merepresentasikan kepentingan politik ekonomi pemodal besar, desa menjadi ruang terdekat untuk direbut dan dikuatkan. Dalam ruang desa ada persentuhan sehari – hari, persentuhan langsung antara masyarakat desa dengan pemerintahan desa, jadi kontrol dan tekanan terhadap penyelenggara desa yaitu pemerintahan desa lebih dekat. Jika ditemukan indikasi penyelewengan oleh penyelenggara desa, sepanjang ada masyarakat yang memiliki kesadaran kritis dan terorganisir maka kontrol, tekanan berikut sanksi akan mudah dan cepat dilakukan.

Dibandingkan dengan penguatan dilevel kabupaten, provinsi dan nasional dengan penyelenggara negara disetiap level yang begitu buruk, tidak lebih sebagai kaki tangan kepentingan korporasi asing dan domestik, maka ruang desa menjadi ruang yang secara politik dekat dan penting untuk direbut dan dikontrol. Atas dasar tiga argumentasi inilah Qaryah Thayyibah meletakkan basis pokok pengorganisian dilevel desa yang direpresentasikan dengan adanya organisasi tani tinngkat desa yang kami sebut Paguyuban Petani.

Monopoli ruang produksi oleh korporasi
Dalam hal ruang produksi realitasnya hari ini petani dan masyarakat desa secara umum masih menghadapi monopoli penguasaan sumber – sumber produksi oleh korporasi asing dan domestik. Tanah sebagai alat produksi pokok bagi petani sebagian besar dikuasai dalam konteks Jawa oleh Perhutani, Perkebunan dan korporasi asing dan domestik lainnya. Secara khusus dalam konteks DIY mayoritas tanah – tanah pemukiman dan produktif di Jogyakarta, yang kita kenal dengan Sultan Ground dan Paku Alam Ground masih dikuasai oleh Sultan dan Paku Alam. Sementara disisi lain kita menyaksikan jutaan buruh tani dan petani penggarap disekitar hutan dan sekitar perkebunan sangat menbutuhkan lahan tersebut untuk kepentingan produksi mereka.

Juga untuk desa – desa yang tidak berarsiran dengan perhutani dan perkebunan, masih menghadapi penguasaan dan monopoli tanah oleh pihak – pihak di luar kecamatan yang kita kenal dengan tanah – tanah absentee. Dari segi kebijakan petani dan masyarakat desa pada umunya juga menghadapi ancaman yang semakin serius dengan disahkannya berbagai UU sektoral yang mengatur tentang pertanahan. Setelah UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dipetieskan oleh Rezim Soeharto dan dilanggengkan sampai hari ini petani menghadapi banyaknya regulasi tentang pertanahan yang pada hakekatnya semakin meminggirkan akses petani terhadap tanah dan nyata – nyata negara lebih memihak kepada kepentingan korporasi.

Begitu juga untuk sumber produksi air, hari petani dan masyarakat desa secara umum menghadapi semakin surutnya sumber – sumber air, bahkan dibeberapa tempat yang dulunya memiliki sumber air yang melimpah, sekarang pada musim kemarau sering mengalami kekeringan sehingga petani kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air untuk irigasi maupun untuk air mimun dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Selain itu hari ini kita juga menghadapi ancaman penguasaan air oleh pihak swasta seiring dengan disahkannya UU SDA No. 7 Tahun 2004.

Hal yang sama juga terjadi pada benih, pupuk dan obat – obatan, realitanya hari ini mayoritas petani dan masyarakat desa secara umum terjebak pada penggunaan input produksi pabrikan yang dibuat oleh korporasi benih, pupuk dan pestisida. Tidak saja penggunaan input produksi pabrikan ini membahayakan kelestarian lingkungan pertanian, penggunaan secara masif input produksi pabrikan ini juga semakin membuat petani tergantung dan jauh dari kemandirian
Penghancuran pranata sosial budaya oleh negara dan arus besar kapitalisme.

Bagaimana dengan kekuatan sosial, adat, budaya dan kearifan lokal lainnya. Kenyataan hari ini kita menyaksikan hegemoni budaya asing menjajah masyarakat kita, termasuk masyarakat pedesaan. Tidak berarti segala sesuatu termasuk budaya asing selalu buruk, pada kenyataannya sekarang tumbuh subur budaya konsumerisme, budaya instans yang juga melanda masyarakat desa. Dan jika ditelisik lagi – lagi akar dari budaya konsumerisme ini juga berasal dari arus besar kapitalisme.
Konsepsi tentang kesehatan, pendidikan, parameter – parameter kesuksesan, bahkan kecantikan perempuan telah terhegemoni oleh barat yang pada ujungnya adalah kepentingan untuk mengeruk sebesar – besarnya dari bisnis pendidikan, kesehatan dan kecantikan. Dan celakanya sasaran empuk dari serbuan pasar ini adalah kaum perempuan dan generasi muda kita termasuk perempuan dan generasi muda yang ada di pedesaan.

Hegemoni budaya asing ini telah menggeser budaya, kearifan dan modal sosial yang dimiliki masyarakat desa. Desa beserta dengan entitasnya cenderung melupakan kekuatan sosial dan budaya yang dimiliki dan terjebak pada hegemoni cara pandang dan budaya yang diproduksi pihak asing. Hal ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari segala bentuk intervensi negara atas nama pembangunan yang mengabaikan kekuatan – kekuatan sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam banyak hal negara justru menjadi pihak yang menghancurkan tatanan dan pranata sosial budaya yang dimiliki oleh mayarakat

Minimnya kesadaran kritis masyarakat dan pembajakan oleh politik uang
Bagaimana dengan kehidupan politik di desa ?, secara umum masyarakat pedesaan sebagai mana layaknya masyarakat kelas bawah pada umumnya kurang memiliki kesadaran kritis atas situsai yang mereka hadapi. Mereka cenderung menerima segala keadaan termasuk keadaan pahit yang mereka alami sehari – hari sebagai keumuman yang biasa atau bahkan sebagai takdir. Artikulasi kepentingan – kepentingan dasar mereka biasanya mudah dibajak oleh elit – elit politik desa, seperti birokrat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tidak ketinggalan juga tuan tanah, rentenir dan tengkulak yang memegang kendali produksi dan perekonomian di desa. Pembajakan oleh elit – elit politik desa tersebut, secara kekinian terrepresentasi dalam gerakan Parade Nusantara, yang dipelopori oleh birokrasi desa.

Hal yang lain juga tercermin dalam agenda – agenda politik praktis di desa seperti pilihan kepala desa dan kepala dusun/dukuh. Secara umum praktek politik praktis ini kental didominasi oleh kepentingan politik uang yang bersinergi dengan kepentingan elit – elit ekonomi yang memegang kendali di desa. Perhelatan politik praktis semakin jauh upaya – upaya dan kepentingan untuk mensejahterakan mayoritas masyarakat pedesaan yang rata – rata adalah buruh tani, petani penggarap dan petani kecil lainnya. Begitu pula dalam perhelatan politik praktis pada level yang lebih tinggi (kabupaten, propinsi dan nasional) baik legislatif maupun eksekutif.

Tidak jauh seperti yang terjadi dan di tunjukkan dalam praktek – praktek berpolitik oleh elit – elit politik kita disemua level, itu pula yang ditiru dan terjadi di desa. Kenyataan yang berkembang didesa uanglah yang berkuasa, siapa yang berani membayar lebih mahal dialah yang akan mendapatkan vote lebih banyak. Perhelatan politik praktis hanya menjadikan masyarakat desa sebagai mesin pengeruk suara tanpa pernah dididik dan diberi ruang dalam partisipasi politik yang sesungguhnya.
Upaya – upaya merebut kembali kedaulatan desa

Dengan melihat gambaran desa seperti diatas, Qaryah Thayyibah dalam prakteknya selama ini telah mengembangkan beberapa upaya untuk merebut kembali kedaulatan desa diantaranya adalah: pertama, pendidikan dan penyadaran petani termasuk didalamnya adalah pemuda tani dan perempuan. Pendidikan dan penyadaran penting dilakukan untuk membongkar kesadaran naif masyarakat supaya masyarakat memahami posisinya, kepentingan dan situasi secara umum yang mereka hadapi.
Pendidikan ini juga diharapkan supaya masyarakat memahami potensi dan kekuatan yang masih dimiliki dan juga menggali kekuatan yang telah hilang. Pendidikan juga diharapkan mampu melahirkan ide – ide dan praktek gerakan alternatif untuk memperkuat masyarakat dan desa sebagai komunitasnya. Upaya pertama ini kami menyebutnya sebagai fondasi yang penting untuk membangun kedaulatan desa, tanpa masyarakat desa yang kritis mustahil bisa membangun kedaulatan desa.

Siapa sasaran pokok pendidikan dan penyadaran ?. Qaryah Thayyibah menempatkan sasaran pokok pendidikan penyadaran pada buruh tani, petani penggarap dan petani kecil, juga termasuk didalamnya perempuan dan pemuda tani. Pilihan ini diambil dengan satu kesadaran bahwa kalangan inilah sesungguhnya kalangan yang menjadi korban dari sistem yang tidak adil ini. Kalangan ini juga yang secara factual menjadi pihak mayoritas tetapi paling sedikit menguasai sumber – sumber produktif.

Kedua, pengorganisasian petani termasuk didalamnya perempuan dan pemuda tani. Bersamaan dengan agenda – agenda pendidikan dan penyadaran, pekerjaan pengorganisasian adalah menjadi pekerjaan simultan yang harus dilakukan. Hasil dari pengorganisasian ini direpresentasikan dalam bentuk organisasi tani, yaitu organisasi tani tingkat dusun yang disebut kelompok tani dan organisasi tingkat desa yang disebut paguyuban petani.

Dalam empat tahun terakhir, setelah pengorganisasian petani perempuan, Qaryah Thayyibah juga mulai memfokuskan pengorganisasian pada pemuda tani laki – laki dan perempuan. Pemuda tani dinilai menjadi aktor yang strategis untuk menjadi pelaku perubahan di pedesaan. Ditengah semakin masifnya gempuran neokapitalisme yang ditunjukkan dalam sikap – sikap konsumerisme, individualime dan apatis terhadap lingkungan dan lain sebagainya. Secara umum pemuda pedesaan juga tidak lagi bangga tehadap identitas petani dan pedesaan, mereka lebih memimpikan kota dengan segala kemewahannya. Inilah faktanya, kenapa pengorganisasian pemuda petani menjadi penting.

Bukan saja kekuatiran akan terjadi loss generation pada bidang pertanian yang semakin kusam ini, tetapi sesungguhnya pemuda tani menjadi aktor yang penting untuk menggerakkan nilai – nilai sosial budaya yang luhur dan juga diharapkan menjadi generasi baru yang memiliki kesadaran kritis, sehingga bisa mengaktualkan kepentingan – kepentingan politiknya secara berani. Keberadaan generasi muda yang kritis akan mengikis feodalisme yang mengakar kuat di pedesaan, selanjutnya juga kritis terhadap bentuk – bentuk intervensi asing yang masuk dipedesaan.
Kebutuhan akan organisasi petani ini yang didalamnya juga ada group – group perempuan dan pemuda tani, didasari pada keyakinan bahwa ide – ide, upaya – upaya alternatif dan perlawanan terhadap sistem dominan yang menindas hari ini akan efektif dilakukan jika kalangan yang terpinggirkan ini bersatu dan berjuang dalam wadah organisasi yang solid.

Begitupun dalam ruang desa, keberadaan organisasi tani yang solid didesa baik secara kuantitas maupun kualitas akan menjadi pilar yang penting bagi perwujudan kedaulatan desa. Bukan saja organisasi tani akan menjadi kontrol yang efektif bagi pemerintahan desa yang berkuasa, secara horisontal organisasi ini juga akan mendinamisir ruang – ruang produksi, ekonomi, sosial – budaya dan politik di desa.

Ketiga, selanjutnya untuk memperkuat dan melindungi sumber – sumber produktif, modal sosial dan juga kedaulatan desa secara umum dan sekaligus melindungi desa dari ancaman dan penguasaan pihak – pihak diluar desa, Qaryah Thayyibah juga mendorong regulasi ditingkat desa yang disebut perdes/peraturan desa. Qaryah Thayyibah memandang hal ini bisa menjadi peluang hukum positif yang bisa dimanfaatkan oleh desa untuk memperkuat kedaulatannya.

Salah satu syarat terpenuhinya kedaulatan desa adalah adanya teritorial atau wilayah desa yang jelas. Selama ini teritorial desa biasanya hanya ditunjukkan batas – batas antar desa dan tidak pernah dikuatkan secara hukum, sehingga seringkali kita menyaksikan konflik – konfik horisontal maupu vertikal dengan negara dan pemodal terkait dengan ketidak jelasan batas wilayah. Atas situasi ini perdes pertama yang prioritas untuk disahkan adalah perdes tentang batas wilayah desa. Dengan disahkan perdes batas wilayah desa, teritorial desa akan menjadi kekuatan hukum yang jelas dan mengikat.

Setelah perdes batas wilayah desa, selanjutnya bisa dirumuskan perdes – perdes yang lain yang dipokokkan pada pengaturan sumber – sumber produktif yang berada didesa dengan semangat sebesar – besarnya pemanfaatan sumber – sumber produktif untuk petani kecil. Selanjutnya juga bisa diatur perdes – perdes untuk memperkuat nilai – nilai budaya luhur, modal sosial dan juga kearifan lokal yang lain. Selanjutnya untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan desa yang bersih dan berpihak juga bisa diinisiasi perdes – perdes terkait dengan penyelenggaraan desa misalnya tentang perencanaan strategis desa dan lain sebagainya.

Keempat, upaya selanjutnya Qaryah Thayyibah melalui organisasi tani tingkat desa juga menyiapkan dan mendorong kader – kader maju petani termasuk perempuan dan pemuda tani untuk mengambil ruang – ruang kepemimpinan di desa. Jika desa dengan mayoritas petani kecil, memiliki pemimpin yang direpresentasikan dari kalangan mereka sendiri, desa akan lebih memiliki peluang untuk mengarahkan pembangunan sebesar – besarnya untuk masyarakat tani dan desa secara umum, bukan untuk kepentingan elit – elit desa ataupun kepentingan – kepentingan lain di luar desa termasuk korporasi.
SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar