Tanpa permisi orang-orang yang kalap dan marah mengarak simpatisan orang yang diduga anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Genocide, ratusan ribu-jutaan orang diperkirakan terbunuh! Pembunuh menuduh anggota Gerwani, Lekra, BTI, SOBSI sebagai 'dalang' peristiwa Gestok. Para tertuduh dibawah ancaman kekerasan dan tebasan parang dipaksa mengakui kesalahan tanpa pernah tahu duduk perkara? Peristiwa akhir September 1965 sejarah kelam perpolitikan Indonesia homo homini lupus!
Sementara itu di Jakarta 'cekaman' situasi terus dipelihara. Lubang buaya menjadi saksi bisu tubuh-tubuh jendral yang dilempar dalam kondisi darah segar muncrat dari badan, D.I Panjatitan, dkk. Kubu komunis kebingungan juga, ini skenario CIA atau benarkah revolusi sudah dimulai?
Kematian Jendral-jendral dan petinggi tentara mengudang berbagai tafsir yang membingungkan. Adalah PKI, organisasi yang sejak tahun 1955 sampai dengan 1965 dapat menghimpun 2 juta lebih anggota itu seperti tawanan yang terpojok sebab PKI selalu identik dengan jargon revolusi dan strategi kekerasan dengan perang kelas. Namun, benarkah PKI terlalu nekat, sehingga membuat blunder pada peristiwa tersebut, ataukah Gestok/ G 30 S itu memang disetting oleh CIA bersama petinggi-petinggi AD yang muak dengan eksistensi PKI termasuk upaya menggeser peran Soekarno, belum ada jawaban yang pasti terkecuali pertarungan tafsir dalam bentuk buku dan bukti yang sama-sama berat dan kuat.
Sejarah lembaran hitam selegam arangpun harus tetap dikenang karena itu memang pernah terjadi. Bagaimanapun ceritera para eks-PKI yang diadili langsung dibunuh dengan cara dipenggal, didor dan dikubur dengan kondisi bernafas jauh lebih nyata darpada ceritera tentang Roro Mendut atau kesaktian Gatot Kaca. Busuknya skenario dan pembantaian eks-anggota PKI tahun 1965 tentu masih tercium busuk sampai kapanpun, kebengisan oknum-oknum preman yang haus darah saat itu sudah menjadi trauma tersendiri yang barangkali pada hari ini masih tersimpan baranya di dada setiap komunis di negeri ini. Keadilan harus juga untuk komunis, tidak boleh ada larangan selama pihak-pihak pelarang tak sanggup membuktikan letak kesalahan?
Mereka tidak mengharapkan komunisme karena tangan besi, karena diktator proletariat dan perang-perang kelas berekepanjangan tanpa menyentuh dasar permasalahan ketidakadilan dan kesenjangan antarkelas yang semakin melebar. Padahal, membedakan ide dengan praktik tentu adalah salah satu cara kita menghindai kesalahpahaman sekaligus mendekatkan kita kepada kebenaran. Komunisme dan Marxisme sebagai ide adalah sebuah gagasan sendiri, sementara Leninisme, Stalinisme, atau Maoisme adalah ide dengan interpretasi masing-masing. Apakah Pancasila akan jadi seperti itu tanpa ada komunisme? Tentu saja, kita pesimis. Salam Caping!
0 komentar :
Posting Komentar