Ironi Petani Dan Pertanian

Dulu....
Petani tidak pernah membeli benih.
Dulu....
Petani tidak dipusingkan dengan ilmu
Pengetahuan yang aneh-aneh.
Dulu....
Petani tidak dipusingkan dengan hilangnya
pupuk dari pasaran.
Dulu....
Petani tidak dipusingkan dengan hama
tanaman.
Mengapa semua berubah?
Lalu...
Apa artinya menjadi petani?
Jika kita membeli,jika pupuk kita harus
membeli,jika pestisida kita juga harus
membeli.
Sementara hasil pertanian,kita tidak mampu
lagi menentukan harga yang layak sesuai
dengan keringat yang kita keluarkan


Kiranya itu sepenggal kata-kata entah itu puisi atau apapun yang dituliskan Rahadi di slide awal presentasinya di rapat IOF dengan SPPQT beberapa waktu lalu.
Di sanalah dijelaskannya kenapa SL itu ada.

Bagaimana dengan nyatanya? Beberapa tempat memang terlihat hijau dengan hamparan sawah, atau kuning padi yang tua atau sayur-sayuran. Tapi dari mana asal benih itu? Masihkah kita mampu menciptanya? Lalu, bagaimana merawatnya? Dengan obat kimia? Atau pupuk organik seperti dahulu kala? Dan yang paling ironis, masih bisa hidupkah Petani dengan hasil pertaniannya?

Sejak era Revolusi hijau, berangsur tanah menjadi semakin tandus. Pemakaian pestisida dan pupuk kimia mempercepat pelepasan unsur nitrogen (N) dalam tanah. Lepasnya N itu menjadikan tanah keras dan tidak subur lagi. Tidak heran jika sekarang banyak import bahan pangan.

Sayangnya, praktek pemakaian pupuk kimia masih terus berlangsung dan seolah lestari. Hampir semua petani lebih percaya pada pupuk kimia daripada pupuk kompos warisan nenek moyangnya. Memang, sekarang banyak juga gerakan kembali ke organik. Tapi nyatanya sama, di beberapa daerah pupuk kimia masih mendominasi itu.

Potret petani Indonesia.
Tak hanya itu, minimnya perlindungan terhadap petani, seolah mulai menggerus eksistensi petani. Setiap tahun semakin banyak lahan pertanian yang berubah menjadi ladang beton, entah itu pabrik maupun perumahan. Selain itu, harga sebagian besar komoditas seolah selalu menurun ketika panen raya tiba. Dengan kondisi seperti ini, masihkah bisa bertahan hidup dengan menjadi petani? Tak heran jika banyak anak petani lebih memilih menjadi buruh pabrik daripada harus berkotor-kotor di sawahnya. (Edy Susanto)
SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar