oleh: Nia Kurniawati
Aku sedang dilanda galau berkepanjangan. Tidak seperti denyut jantung yang teratur, melainkan seperti denyut yang menggebu tanpa jeda maupun tempo yang jelas. Layaknya seorang manusia, salah adalah bayang-bayang yang tak akan pernah hilang. Aku berusaha mengatakan apa yang dirasa, tapi sulit! Melebur, mendera, menyayat bagai sembilu pilu. "ahh..!! aku sedang nulis apasih?! ndak jelas banget!" gerutuku sembari membubuhkan tanda silang besar di kertas.
Aku mulai jenuh, merangkai apa yang pudar dan membangun apa yang roboh. Hanya beratapkan kolong langit, bertiraikan alam yang gemerisik akan angin yang berhembus dan berdebu tak ubahnya bumi menjadi alas teristimewa kala itu. Aku mendongak ke atas mentap bintang-bintang yang menghampar lebar di langit pekat. Meratap qalbu yang patah dan miris bekas goresan-goresan yang terlalu dalam. Aku menanti mentari dikala itu, yang menghempas saat itu hanya lamunan tak berarti dan kemustahilan yang srakah. aku mendongak bukan karena congkak, menebak-nebak saat malam menggeliat dalam kelelapan. Aku kebingungan saat tangan mulai menengadah dan meminta, tapi hatiku masih srakah dengan nikmat ini.
Lama ku tengadahkan tangan, aku semakin malu dengan dirisendiri dan ku tarik kembali tangan ini. Ku renungkan saat 5 menit yang lalu sebelum aku berdo'a, dan 5 menit nanti setelah aku berdo'a, bahkan saat khalawat itu pun pikiran ku telah dibuka lebar-lebar. Tak lantas aku batalkan untuk memanjatkan permintaan-permintaan ini. Aku diam tanpa satupun desah menyisir heningnya malam.
"Aku kembali ketika aku susah
Aku kembali ketika aku sedih
Aku kembali ketika aku butuh
lalu, Aku pergi dengan linangan air mata yang lekas mengering tanpa bekas saat ku utarakan permintaan ku
lalu aku pergi ketika jawaban do'aku mulai berasa rintik-rintik menetes pelan
lalu, kemanakah aku ketika itu?
Apakah saat ku tertawa ku teringat-Nya?
Apakah saat ku merasa sangat bahagia selalu ku ingata Dia?
Dan jawabannya : "Belum tentu!"
Bisakah ku dikatan selalu beriman?
Berapa kalikah aku benar-benar mendekap nama Allah dalam relung hati?
Benar! saat aku butuh!
Dan mulai lalai saat bahagia mendera-dera tanpa malu ataupun permisi menguasai hati yang sedang mencoba tawakal dan beriman.
Aku memahami dua sisi dalam diri sendiri. Dan bertanya "siapa aku?", "Bagaimanakah aku?", dan "mengapa aku begini?" ketika tak kutemukan satupun jawaban pasti.
Berlari-lari di atas lautan jiwa yang ombaknya tak ubahnya adalah batu sandungan ku. Aku belajar dengan mem-plagiat tutur seorang filosof, ilmuwan bahkan bertata bagai seorang motivator. "uhhh!!! just my face! you do not look what happened in my soul!"
mereka percaya dan sebaiknya aku tak mempercayai apa yang ku ucapkan. karena siapa aku belum ku kenal..!!!
0 komentar :
Posting Komentar