Oleh: Burhan Arif
Sahabat kawula muda pembaca buletin 'Caping' yang budiman, patutlah tahu saat-saat ini dunia kemajuan perempuan masihlah berada pada situasi anomie, yaitu suatu waktu dimana nilai-nilai lama telah usang, sementara nilai baru belum pula terbentuk. Anomie itu dalam dunia kewanitaan, dapat nampak dari terkikisnya adat lama yang sudah banyak tidak terpakai, sementara itu kondisi pembebasan perempuan, masihlah menjadi PR yang panjang. Kaum perempuan hidup dalam kesusahpayahan, antara menjadi ibu rumah tangga saja, atau turut bekerja menjadi wanita karir. Pun begitu, secara umum kita dapati, berbagai macam potret penghidupan perempuan masihlah buram dengan berbagai diskriminasi gender (pembedaan jenis kelamin).
Secara berbeda, Caping menghubungkan apa yang dilakukan Raden Ajeng Kartini pada zamannya dengan inspirasi kebangkitan pemuda, dan petani dari situasi-situasi sulit, hari-hari ini. Sesosok R. A. Kartini dengan perjuangannya diharapkan banyak pemuda-pemudi dan anak gadis desa yang membaca ini, merasa dialah sebagai dirinya sendiri yang berjuang itu.
Secara berbeda, Caping menghubungkan apa yang dilakukan Raden Ajeng Kartini pada zamannya dengan inspirasi kebangkitan pemuda, dan petani dari situasi-situasi sulit, hari-hari ini. Sesosok R. A. Kartini dengan perjuangannya diharapkan banyak pemuda-pemudi dan anak gadis desa yang membaca ini, merasa dialah sebagai dirinya sendiri yang berjuang itu.
Untuk maksud itulah pada profil Caping kali ini, mengangkat R. A. Kartini dengan harapan semoga menjadi pendorong bangkitnya semangat kaum perempuan di pedesaan pada khusunya. Dalam penulisan profil ini, Caping menelisik latarbelakang kehidupan (konteks) Kartini sebagai upaya memetakan pemikiran beliau dengan tepat.
| Kartini, Kardinah, Rukmini (dari kanan) Sumber: HGTT. |
Kartini lahir 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808 (21 April 1879 Masehi) di Mayong, afdeeling (Kabupaten) Jepara. Ibunya merupakan seorang keturunan Ratu Madura (?) Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat yang adalah bupati Jepara. Kartini anak yang kelima. Yang sulung ialah R. M. Sosroningrat, di bawahnya Pangeran A. Sosrobusono yang menjadi bupati di Ngawi, sesudah itu Raden Ayu Tjokroadisosro, dan Drs. R. M. Sosrokartono. Adik-adik Kartini ialah R. A. Rukmini, yang kemudian menjadi R. A. Santoso (bupati Kudus), R. A. Kardinah, yang kemudian menjadi R. A. Reksonagoro, Bupati Tegal, R. A. Kartinah (Menjadi R. A. Dirjoprawiro), R. M. Sosromuljono, R. A. Sumantri (menjadi R. A. Sosrohadikusumo), dan R. M. Sosrorawito. Kakeknya Kartini ialah Pangeran Adipati Tjondronegoro bupati Demak. Kakeknya itu mempunyai tiga orang putera yang masing-masing pula menjabat bupati di Demak, Jepara dan di Kudus.
| Ayah Kartini (anak dari isteri kedua), Sumber: HGTT |
Kartini dalam menjadi anak priyayi, tidaklah manja, selalu biasa saja. Diberi Tuhan karunia berparas anggun menawan rupawan, Kartini banyak yang ingin menikahi, namun ia tidak ingin menikah buru-buru. Kardinah adiknya bahkan menyalipnya, hal yang tak lazim tentunya, namun itulah Kartini perempuan yang sangat teguh pendirian dalam berjuang. Berada di lingkungan kadipaten dengan adatnya, ayahnya Kartini memingitnya (menutup), sehingga susahlah ia hidup bebas di luar tembok kadipaten (adat waktu itu memang jika sudah berumur dua belas tahun, perempuan dipingit/ ditutup di dalam rumah). Makin terasa oleh Kartini tidak bebasnya hal demikian.
"Diajar orang dia bebas, lalu dimasukkan ke dalam sangkar."
(Surat kepada nona Zeehandelaar, 23 Agustus 1900).
Kartini merasakan kebosanan yang sangat dengan ketertutupan lingkungannya itu, terlebih sikap ayahnya yang sangat feodal. Akhirnya, bermediakan tulisan, Kartini menuliskan apa yang dialami dan membagi pandangan pemikirannya yang berlawan. Kartini berkorespondensi dengan teman-temannya yang kebanyakan orang Eropah, dengan Nyonya Ovink-Soer (disebutnya Ibu, dia nyonya asisten Resident Jepara berkirim surat s/d akhir 1899), nona Estele Zeehandelaar (menikah dengan tuan Harsthalt -cuma berkenalan dengan surat tinggal di negeri Belanda), Tuan Prof, Dr. G. K. Anton dan nyonya di Jena-Jerman (tinggal di Jerman pernah mengunjungi Jepara), Dr. N. Idriani (ahli bahasa tinggal di daerah poso -Selebes/ Sulawesi Tengah), H. G. de Booij-Boissevain, Mr. Abendanon dan E. C. Abendanon anaknya (mengunjungi rumah Kartini pada 8 Agustus 1895), tuan van Kol dan nyonya Nellie (sejak 1902).
| Sumber: HGTT. |
"Selama ini hanya satu jalan terbuka bagi gadis Bumi putra akan menempuh hidup, ialah 'kawin'." (Surat kepada nona Zeehandelaar, 23 Agustus 1900).
Kartini sudah didik sama sekali dengan pengajaran Barat, pada zamannya itu ia sudah termasuk anak gadis yang terkemuka dalam berfikir. Oleh pelajarannya itu, makin terasa olehnya matanya terbuka, oleh karena pelajarannya yang ia sarikan dalam teladan dunia Barat;
"Maka bibit yang ada dalam hatinya itu, yaitu perasaan yang merasakan duka orang lain timbullah sampai berurat berakar, hidup subur, serta dengan rindangnya."
(Surat kepada nona Zaahandelaar, 25 mei 1899).
Kartini sesosok perempuan yang menghendaki persamaan antar sesama manusia (liberal), walaupun Kartini sendiri keturunan keluarga yang tergolong bangsawan yang paling terkemuka di seluruh Hindia. Kartini tidak membanggakan diri keturunan bangsawan, walaupun menyadari hal itu. Kartini anak tingkatan bangsawan, yang selamanya wajib menjaga dan menimang-nimang adat. Kartini lebih banyak terikat oleh adat dari yang lain-lain. Meskipun demikian, ia berani juga bertentangan dengan adat itu. Jika perempuan dari kalangan yang rendah dari Kartini itu mencoba merombak adat, hal itu kuranglah mengherankan. Kartini masuk kalangan anak orang yang berpangkat, yang menjadi teladan rakyat kebanyakan, yang berharap-harap supaya;
"(Bendoronya) hendaklah menjadi rakhmat, menjadi tempat orang banyak berlindung, menjadi pohon yang rindang tempat orang banyak bernaung, dari panas matahari."
Surat kepada nyonya Abendanon, 1 Agustus 1903).
Dalam pemikirannya, Kartini tidak percaya lagi kepada adat istiadat karena tidak memuaskan cita-citanya dan perasaannya Kartini ingin memajukan perempuan dan pendidikan bagi golongan Bumiputera, maka oleh Kartini didirikanlah sekolah bersama Kardinah adiknya. Bagi Kartini pendidikan dengan pelajaran vak bagi perempuan itu cuma perlu supaya jangan dapat dipaksa kawin dengan orang yang tidak disukainya, dan supaya jangan merasa wajib takluk kepada suaminya. Jika perempuan itu berpelajaran, lebih cakaplah dia mendidik anaknya dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya.
| Isteri E. C. Abendanon, Sumber: HGTT |
"Ya tuhan,kadang2 saya berharap alangkah baiknya jika tidak ada agama,sebab agama yg seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yg sangat ngeri. Orang -orang seibu sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Esa, dan Tuhan Yang Sama."
(Surat kartini kepada Stella Zehandelaar,6 november 1899).
"Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami."
(Surat kepada tuan E. C. Abendanon, 15 Agustus 1902)
Kartini seperti Promotheus dalam cerita Hamlet. Promotheus, karena ditambat oleh diri sendirinya juga, oleh sifat yang ada padanya sendiri yang menambatnya, yang membuatnya seolah-oleh burung garuda yang terkulai sayap, yang mencoba melayang lagi, membumbung ke langit. Dia hendak membumbung itu bukan buat dirinya sendrii, justru dia yang musnah yang menderita.
Kembali ke lingkunganku yang lama tiada aku dapat, maju lagi, masuk dunia baru itu tiada pula dapat, ribuan tali mengikat aku erat-erat kepada duniaku yang lama,"
(Surat kepada nona Zeehandelaar, 6 November 1899).
Salah satu pengarang terbaik Indonesia bahkan Dunia, Alm. Pramoedya Ananta Toer secara diam-diam telah menaruh hati pada Kartini. Secara hati-hati dibukukannya ini dalam bukunya, "Panggil Aku Kartini Saja", 1961. Sementara ikhtiar yang sama juga diupayakan oleh Armijn Pane dengan menerjemahkan karya itu dalam, "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang terbit pertamakali pada tahun 1938. Buku Armijn Pane itu berisi terjemahan surat-menyurat Kartini semasa beliau hidup. Dengan upaya-upaya sastrawan dan penulis besar tersebut, kiranya menjadi gambaran betapa Kartini telah menyumbangkan karya bagi perempuan kontribusi yang sangat besar dan berpengaruh.
"Semangat zaman pembantu dan pembela saya, dimana-mana memperdengarkan gemuruh langkahnya; gedung tua kukuh dan dahsyat, tergoyang pada sendirinya ketika semangat zaman itu menghampiri -pintu yang dipalang dan dijaga kuat-kuat itu, lalu terbukalah, setengahnya seolah-olah dengan sendirinya, yang lain dengan amat susahnya, tetapi terbuka, semua mesti terbuka dan tamu yang tidak disukai itupun masuklah!
(Surat kepada nona Zeehandelaar, 25 mei 1899).
Demikianlah gambaran ringkas Kartini yang secara sederhana saya susun untuk media'Caping' ini. Akhir riwayat, pada tanggal 8 November 1903 diapun menikah. Pada tanggal 1 September 1904 setelah anak laki-laki Kartini lahir, adalah kesempatan baginya mewujudkan cita-citanya tentang perkara mendidik, terkabullah hasrat hendak menjadi Ibu, sayang tiga hari kemudian (17 September 1904), meninggallah dia.
_____________R. A. Kartini (terj. Armijn Pane). Habis Gelap Terbitlah Terang. Balai Pustaka, Jakarta; 1979.
Pramoedya Ananta Toer. Panggil Aku Kartini Saja. Hasta Mitra. Jakarta; 1961.
Hidup Kartini!
BalasHapusI Love You!