Oleh: Syukroni
Nyadran . (Foto: Pemprov Jateng) |
Seiring berkembangnya zaman, sebagian besar masyarakat Indonesia mulai meninggalkan tradisi leluhurnya. Tak banyak diantara mereka yang masih melestarikan tradisi nenek moyang. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan adalah tradisi di daerah Boyolali, tepatnya di wilayah selo di sebuah dukuh Tompak Desa Tarubatang kecamatan Selo kabupaten Boyolali Jawa Tengah yaitu Nyadran. Nyadran merupakan tradisi masyarakat Jawa yang biasa dilakukan pada bulan menjelang puasa (Ramadhan). Tetapi di beberapa daerah yang berbeda ada yang dilaksanakan pada bulan Syuro dan Jumadil awal. Kebudayaan yang masih melekat pada masyarakat Tompak ini adalah tradisi memanjatkan doa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kesejahteraan.
Menurut catatan sejarah, tradisi Nyadran memiliki kesamaan dengan tradisi sradha yang ada pada zaman Majapahit. Kesamaannya terletak pada kegiatan manusia berkaitan dengan leluhur yang sudan meninggal. Secara etimologis, kata Craddha berasal dari bahasa Sansekerta “Sraddha” yang artinya keyakinan atau kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan memengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya.
Menurut alur ceritanya, ketika Islam datang ke Pulau Jawa mulai abad ke – 13, banyak tradisi Hindu Budha yang terakulturasi dengan ajaran Islam. Akulturasi ini makin kuat ketika Wali Songo menjalankan dakwah Islam di Jawa mulai abad ke – 15. Proses akulturasi ini membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya tradisi “Sraddha” yang berubah menjadi “Nyadran”. Karena pengaruh Islam pula, makna Nyadran mengalami pergeseran dari sekedar berdoa kepada Tuhan menjadi ritual kepada roh nenek moyang dan sebagai introspeksi atas perenungan terhadap daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun dan diwujudkan dalam bentuk ziarah. (http//wikipedia-nyadran.com. diakses pada tanggal 1 April 2014).
Dengan penjelasan diatas, Nyadran sangat erat kaitannya dengan kepercayaan Animisme yang merupakan kepercayaan adanya roh nenek moyang di sekitar kita. Terkait dengan definisi tersebut, masyarakat Tompak beranggapan bahwa roh – roh nenek moyang tersebut tidak akan mengganggu apabila diberikan sesaji. Dalam kebudayaan Nyadran, pemberian sesaji merupakan prioritas utama,yang artinya bila tidak ada sesaji, bukan Nyadran namanya.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peniliti mengambil judul penelitian Nilai-Nilai dan Pengaruh Budaya Nyadran di Dukuh Tompak Dengan Sosial, Agama Penduduk Setempat. /Gus S.
**untuk melihat isi penelitian lengkapnya bisa di baca dan di ambil dengan sopan di :
https://docs.google.com/document/d/1a6ESeVLHr0xOTMsJylaTH-z-YN6FTOg1mIxR9QDR6lM/edit?usp=sharing
** Sumber :http://syukronituaku.blogspot.com/2015/02/nilai-nilai-budaya-dan-pengaruh-adat.html
foto: http://www.promojateng-pemprovjateng.com/publik/1309600799nyadran280710-5.jpg
foto: http://www.promojateng-pemprovjateng.com/publik/1309600799nyadran280710-5.jpg
0 komentar :
Posting Komentar