Mengenang KH. SAHAL MAHFUDH : Mbah Mahfudh, Kiai Sahal dan Fort Willem


Oleh : Munawir Aziz

Salah satu sudut benteng pendhem (Fort Willem) Ambarawa
Tidak banyak orang yang mengenal sosok Kiai Mahfudh, ayahanda Kiai Sahal Mahfudh. Kisah hidup Kiai Mahfudh sayup-sayup terdengar, selain beliau wafat pada usia muda, juga saksi hidup yang mampu menceritakan kisah hidup beliau susah ditemukan. Meski demikian, kisah-kisah lisan tentang sepak terjang Kiai Mahfudh menjadi cerita menarik bagi santri-santri di kawasan Kajen.

Kiai Mahfudh merupakan putra dari Kiai Abdussalam, yang silsilahnya sampai ke Syekh Mutamakkin, lewat Mbah Hendrokusumo. Kiai Mahfudh merupakan saudara dari Kiai Abdullah Zeyn Salam (Mbah Dullah). Dalam sebuah kisah, Mbah Mahfudh merupakan kiai, pejuang dan santri yang cerdas. Ia memahami turats secara mendalam, menguasai ilmu-ilmu politik-intelijen dan hafidzul qur’an. Ketika mengantar adiknya, Kiai Abdullah Salam mondok mengaji kepada Kiai Said, Pamekasan Madura, Mbah Mahfudh ikut menemani adiknya selama dua minggu. Hal ini dilakukan untuk menghibur dan menjaga adiknya agar kerasan mondok. Selama proses menemani adiknya itu, Mbah Mahfudh sambil menghafal al-Quran dan khatam dalam waktu hanya dua minggu.

Kiai Mahfudh dilahirkan sekitar tahun 1900-an. Belum ada data akurat yang dapat diakses untuk menjadi tonggak kelahiran, ayahanda Kiai Sahal. Mbah Mahfudh merupakan putra dari Kiai Salam bin Ismail, dan ibundanya bernama Nyi Mirah. Beliau merupakan putra ketiga dari empat saudara. Pada masa kecil, Kiai Mahfudh belajar mengaji kepada ayahandanya, Kiai Salam, yang merupakan ulama terkemuka di kawasan lereng Muria. Pada waktu itu, pesantren sebagai institusi pendidikan belum didirikan secara formal, hanya majelis-majelis mengaji di rumah kiai, musholla dan masjid. Masjid Kajen, yang menjadi warisan arkeologis dan situs Islam, peninggalan Syekh Mutamakkin menjadi referensi kegiatan keagamaan di kawasan Kajen. Perguruan Islam Mathali’ul Falah, baru didirikan pada 1912. Mengiringi beberapa pesantren tua lainnya, semisal Tebu Ireng (didirikan Syekh Hasyim Asy’ari pada 1899, di Jombang), pesantren Lirboyo (oleh Mbah Manaf/KH. Abdul Karim, pada 1910 di Kediri), pesantren Krapyak di Yogyakarta, yang didirikan oleh KH. Munawir pada 1910.

Mathali’ul Falah, dengan demikian menjadi titik episentrum pendidikan dan kawah candradimuka santri-santri serta masyarakat Kajen, yang kemudian disusul oleh pesantren-pesantren lainnya, semisal Salafiyyah, yang menandai kawasan Kulon Banon dan Wetan Banon, dalam historiografi keislaman di Kajen.

Mbah Mahfudh berperan penting dalam proses pendidikan Kiai Sahal, terutama pembentukan karakter dan wawasan kebangsaan. Kiai Sahal mengungkapkan—dalam kisah yang dituturkan Neng Tutik Nurul Jannah (2014) bahwa ayahandanya, Kiai Mahfudh sebenarnya menjalankan strategi diplomasi politik dengan Belanda. Ketika masih kecil, Kiai Sahal sering melihat tamu-tamu pembesar Belanda datang ke rumah ayahandanya, untuk berdiskusi dan terlibat perbicangan membahas masalah politik maupun keagamaan. Kiai Mahfudh berbicara dengan tamu Belanda, menggunakan bahasa Melayu—bahasa yang belum banyak dipakai orang pribumi Jawa masa itu. Uniknya, Mbah Mahfudh belajar bahasa Melayu dari para santrinya. Beliau, acapkali mengundang santrinya untuk membaca koran berbahasa Melayu, hingga mengerti maksud dan ungkapan-ungkapannya. Inilah, metode belajar dari Kiai Mahfudh untuk mengakses jendela pengetahuan dan pergerakan nasional masa itu.

“Beberapa kali orang Belanda datang ke rumah, dan diterima dengan baik oleh Bapak”, ungkap Kiai Sahal, sebagaimana dikisahkan oleh Tutik Nurul Jannah.

Lalu, apa sebenarnya yang melatar belakangi diplomasi politik Mbah Mahfudh dengan mendekati bahkan bekerjasama dengan pembesar Belanda? Tidak lain dan tidak bukan, adalah motivasi politik. Inilah strategi ala pesantren, yang mampu luwes dalam melihat gelombang politik kolonial, dengan melihat dari dekat kekuatan lawan. Persis, ketika Gus Dur mendekati Benny Moerdani untuk melihat dan memetakan kekuatan politik Orde Baru, strategi intel-militer serta jaringan murid-murid Pater Beek yang bergerak pasca peristiwa 1965.

Kiai Wahab Chasbullah, mengingatkan: “kalau ingin keras, harus punya keris”. Maksudnya, strategi politik yang canggih dengan melawan secara frontal atau melawan dengan lembut, harus dimulai dulu dengan mengukur kekuatan diri sendiri sekaligus memetakan kekuatan lawan. Inilah, yang sering diungkap oleh arsitek militer dan pakar strategi Tiongkok, Tsun Zu dalam karyanya the Art of War, 孫子兵法; Sūnzĭ bīngfǎ).

Dengan demikian, Kiai Mahfudh berusaha ‘mendekat’ dengan pejabat Belanda, untuk mengetahui strategi, gerakan hingga kerja-kerja intelijen Belanda (PID, Politie Inlichtingen Dienst dan RID, Regionale Inlichtingen Dienst) yang saat itu bergerak lincah. Selain itu, Kiai Mahfudh juga ingin agar pesantren Mathali’ul Falah, tidak ‘dikubur sebelum berkembang’ oleh rezim kolonial Belanda. “Motivasi politik yang dimaksudkan di sini adalah kebutuhan Belanda untuk berhubungan baik dengan tokoh-tokoh yang dianggap memiliki pengaruh kuat di lingkungannya dengan tujuan meredam dan memata-matai tokoh tersebut agar tidak mematik bergolakan di kalangan republik. Di sisi lain, kedekatan ini cukup menguntungkan, terutama bagi keberlangsungan lembaga pendidikan yang dipimpin oleh Kiai Mahfudh, yakni Perguruan Islam Mathali’ul Falah” (Jannah, 2014).

Akan tetapi, hubungan retak terjadi antara Kiai Mahfudh dengan birokrat Belanda, ketika munculnya ‘peristiwa pegadaian’. Peristiwa ini, ditandai dengan kondisi yang tidak kondusif pada masa itu, dengan banyaknya perampokan dan penjarahan terhadap toko serta pasar. Melihat kondisi ini, dengan latar belakang ekonomi warga muslim di kawasan Pati kelas menengah ke wabah, Kiai Mahfudh menginisiasi dengan memerintahkan santri-santri untuk ikut menjaga pedagadaian, agar asetnya tidak dijarah oleh orang-orang yang tidak berhak dan dirusak oleh amuk massa.

fortwillem3

‘Peristiwa pegadaian’ terjadi pada kisaran tahun 1940-an. Pada masa itu, politik ekonomi Belanda sedang mengalami pergolakan, terutama menjelang Perang Dunia II. Militer Jepang sedang merangsek untuk memperluas wilayah politik dan keamanan, di kawasan Asia Tenggara. Fondasi ekonomi dan politik kolonial di wilayah Hindia Belanda, terancam dengan ekspansi militer Jepang.

Pada masa itu, pegadaian merupakan salah satu kunci ekonomi di daerah Pati, selain pasar tradisional dan toko-toko kelontong milik pengusaha Tionghoa. Pegadaian, sebenarnya merupakan aset dari pemerintah Hindi Belanda, untuk memberi modal cepat bagi petani dan nelayan. Barang-barang milik petani dan warga kecil, banyak yang disimpan di pegadaian, untuk digadaikan agar mendapat pinjaman uang. Ketika masa panen, biasanya barang di pegadaian diambil kembali oleh pemiliknya—para petani kecil. Langkah Mbah Mahfudh, dengan menginstruksikan santri-santri menjaga pegadaian merupakan strategi jitu, agar barang-barang berharga milik warga kecil terlindungi. Lebih jauh, Mbah Mahfudh juga memberi perintah agar barang-barang di pegadaian dikembalikan kepada pemiliknya, yakni warga miskin dan petani-petani kecil di kawasan Pati. Terang saja, langkah ini membuat pejabat Belanda berang, karena aset mereka diambil oleh santri-santri dan dibagikan kepada penduduk. Pemerintah Belanda mengalami kerugian, apalagi pabrik Gula di Pakis dan Trangkil, masa itu tidak bisa diandalkan hasilnya, karena situasi politik yang tidak stabil.

Aksi Mbah Mahfudh semakin membikin marah Belanda, ketika beliau dengan santri-santrinya menyerang Rumah Sakit Kristen (RSK) di Tayu. Rumah Sakit ini, dianggap sebagai pusat konsolidasi politik dan juga basis kristenisasi di lereng Muria. Dengan menggasak Rumah Sakit Kristen, Mbah Mahfudh setidaknya mendapatkan dua keuntungan, yakni melemahkan basis kekuatan politik Belanda dan mengendurkan moral serdadu Hindia Belanda.

Setelah berjuang melawan kolonial, akhirnya Mbah Mahfudh ditangkap oleh militer Belanda. Beliau kemudian dipenjara, dan dipindah ke penjara Ambarawa, hingga kedatangan militer Jepang. Fort Willem I, merupakan benteng yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, selama 11 tahun, sejak 1834-1845, di bawah kepemimpinan Kolonel Hoorn. Benteng ini, dibangun untuk menghormati Raja pertama Kerajaan Belanda, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau. Bangunan benteng ini, terletak di dekat jalan utama Ambarawa, di perlintasan Semarang-Solo dan Semarang-Yogya. Warga sekitar, mengenal Benteng ini sebagai ‘Benteng Pendem’.

Kiai Mahfudh wafat di Fort Willem I, Ambarawa, pada tahun 1944. Perlawanan terhadap kolonial, konsep politik kebangsaan dan diplomasi politik Mbah Mahfudh, sejatinya menjadi telaga inspirasi bagi Kiai Sahal. Ide-ide dan prinsip politik kebangsaan Kiai Sahal, dipengaruhi oleh ayahandanya, sang pejuang kemerdekaan, KH. Mahfudh Salam[].



Kajen, 3 Maulid 1435 H/25 Desember 2014, tulisan untuk mengiringi Haul Kiai Mahfudh, di Ambarawa, 3 Maulid 1435 H/26 Desember 2014.

Munawir Aziz, santri dan peneliti,

–kajian Tutik Nurul Jannah, hasil wawancara dengan Kiai Sahal, pada 20 Oktober 2012, dan 18 Desember 2012, tertuang dalam buku ‘Epistemologi Fiqh Sosial: Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat (2014, STAIMAFA Press, editor: Munawir Aziz).

–biografi Kiai Mahfudh dan konteks sejarah hidupnya, masih memerlukan riset lanjutan. Hal ini, karena data yang sangat terbatas untuk mengulas sepak terjang dan perjuangan melawan kolonial yang dilakukan beliau.

Sumber: RMI Jateng 25 Desember 2014
Gambar: http://aslibandungan.com/wp-content/uploads/2013/09/benteng-pendem-ambarawa.jpg
SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar