Oleh : Iksan Syah
Setinggi-tinggi dan semulianya sebuah ikatan di muka bumi ini adalah cinta. dengan cintalah bumi ini dilestarikan, dan dengan kebencianlah pembunuhan dan peperangan terjadi di mana-mana. Seandainya cinta itu berkuasa, niscaya berkuasalah kebaikan dan kekaguman. Cintapun bermacam-macam ragam dan coraknya. Mungkin saja banyak yang terkesima saat di bicarakan tentang percintaan dua sosok pemuda dan pemudi.
Setinggi-tinggi dan semulianya sebuah ikatan di muka bumi ini adalah cinta. dengan cintalah bumi ini dilestarikan, dan dengan kebencianlah pembunuhan dan peperangan terjadi di mana-mana. Seandainya cinta itu berkuasa, niscaya berkuasalah kebaikan dan kekaguman. Cintapun bermacam-macam ragam dan coraknya. Mungkin saja banyak yang terkesima saat di bicarakan tentang percintaan dua sosok pemuda dan pemudi.
Cinta di sini bukanlah cinta dalam pengertian sekarang yang telah menelanjangi arti cinta yang Agung serta melepaskan dari arti dan makna yang sesungguhnya. Maka yang terjadi adalah cinta yang semu, kepalsuan cinta, yang terus menjadi pelampiasan hawa nafsu apresiasi sesaat (sikap yang mucul tiba-tiba dan sikap inplusif) jiwa muda.
Mungkin akan ada banyak orang yang merasa keheranan jika cinta adalah perkara yang di anjurkan oleh islam. Tidak ada satupun Nash yang melarang cinta, bahkan cinta adalah dasar pijakan bagi agama-agama. Rasulullah SAW sendiri mencintai Aisyah dengan memanggilnya Humaira' (istri yang memiliki pipi kemerah-merahan). Dipanggil demikian karena wajahnya nampak kemerah-merahan disaat marah. Para sahabatpun juga mengalami percintaan, sebagaimana pula para pengikutnya yang telah dikutip dari komentar Ibnu Hazm mengenai hal itu.
Ibnu Hazm sendiri mengklarifikasikan cinta dalam beberapa tingkatan, seperti berikut :
Pertama, Al Ihtisan (pembenaran); seseorang yang memandangi dengan menatap mata lalu ia menyukainnya.
Artinya, proses awal terjadinya rasa cinta itu dimulai sari tatapan mata, seperti kesepakatan para pakar Mesir. Dalam hal ini mata mempunyai fungsi yang amat besar. Matalah sebagai penolong seseorang pecinta disaat lidah bungkam, berat untuk bicara maka berbicaralah mata seseorang itu.
Kedua, Al I'jaab (kagum); perasaan senang seorang pecinta terhadap kekasihnya dalam kedekatan. Dapat disimpulkan kerinduan jiwa dimulai dari berkali-kali melihat mata. Disini menjadi jelas pertemuan jiwa dan pemikiran seorang juga diawali dengan mata.
Ketiga, Al Ulfah (Persahabatan, keramahan, dan daya tarik); yaitu perasaan kesepian apabila tidak berada di samping kekasihnya. Jelaslah setelah menyatunya rindu dalam jiwa dan dalam hati, muncullah daya tarik tersendiri, yaitu kesenduan kekasih ketika tak di sisinya. Maka terjadilah kesenduan itu atas kedua insan yang sama-sama meraskan dan mengalami percintaan, dan akan tampak keduanya mengalami kegoncangan yang hebat seolah-olah kehilangan keseimbangan.
Keempat, Al Kif atau Al Kalf (cinta yang menyala-nyala); yaitu sebuah cerminan cinta yang mendalam, mendarah daging atau dengan kata lain "Rindu" yang amat. Bisa saja letupan yang menyala-nyala mendatangkan rasa sakit, kecemasan dan bimbang, dan kadang sampai pada kematian.
Walaupun demikian, masih ada beberapa orang yang selalu bertanya, apakah cinta itu halal atau haram. Semua itu mungkin akan terjawab lewat ulas atau kesimpulan dari ucapan para ulama dan fukaha' sebagai berikut :
*Seorang ulama ditanya, cinta itu halal atau haram? jawabannya sangat elok, ia mengatakan: "Cinta yang halal itu halal, dan cinta yang haram itu ya haram. Salah satu contoh yang halal adalah cinta seorang suami kepada istrinya dan cinta seorang istri kepada suaminya, atau cinta seorang lelaki yang melamar wanita yang dilamarnya, dan cinta wanita yang dilamar kepada yang melamarnya. Sedangkan salah satu contoh yang jelas haram ialah cinta seorang lelaki kapada wanita yang bukan istrinya atau cinta seorang wanita kepada lelaki yang bukan suaminya."
*Perasaan simpati atau tertarik saja yang terjalin antara seorang pemuda dengan seorang gadis tanpa ada ikatan, hukumnya tidak apa-apa sepanjang hal itu tidak ada kelanjutan-kelanjutan yang negatif. Tetapi tetap keduanya harus menjaga kesuciannya, kesabarannya, dan berusaha menghadapi hal-hal negatif yang lainnya yang dapat mendorong seseorang untuk emlakukan hal-hal yang makruh dan yang haram.
*Tapi kalau perasaan simpati atau tertarik tersebut berlanjut dengan tahapan-tahapan pandangan mata atau surat-menyurat atau obrol-obrolan atau pertemuan-pertemuan dan lain sebagainnya, maka hukumnya haram alias tidak boleh dilakukan.
* Bobot keharamannya semakin bertambah kalau itu kemudian dilanjutkan dengan berduaan atau sentuh-sentuhan ataupun belaian dan ciuman. Dan bobot keharamannya akan bertambah apabila kalau hal itu dilanjutkan dengan melakukan keharaman lainnya seperti onani, masturbsi, dan hal lain sebagainnya.
*Seseorang tidak boleh begitu saja berdalih bahwa tekanan nafsu birahinya lebih kuat dari kemampuannya, atau bahwa cinta itu adalah urusan hati, atau bahwa hati itu di tangan Allah bukan ditangan kita, atau bahwa Allah itu tidak membebani seseorang melainkan sesuai denga kesanggupannya dan cinta itu termasuk sesuatu yang berada diluar kesanggupan kita.
Wallahua'lam.
(Dikutip dari Buku Asy Syababu Wal Hubbu Wal Gharizah / MA)
0 komentar :
Posting Komentar