Oleh Arif Burhan
“….Apakah partai itu? Partai atau partai politik adalah alat perjuangan daripada golongan-golongan atau kelas-kelas di dalam masyarakat untuk mencapai cita-cita atau tujuan politik kenegaraan. Sebab itu partai politik menghimpun atau mengorganisasi orang-orang yang paling sadar-politik dari golongan atau kelas yang diwakili atau diperjuangkan cita-cita politiknya oleh partai yang bersangkutan. Oleh karena itu pula watak dari suatu partai politik adalah sesuai dengan watak daripada golongan atau kelas dalam masyarakat yang diwakilinya”.
(D. N. Aidit, Menteri/ Wakil Ketua MPRS/ Ketua CC PKI,, “Fungsi Partai dalam Penyelesaian Revolusi Indonesia”, 1963).
Istilah demokrasi seringkali merujuk pada frase-frase abstrak paling bermoral dewasa ini. Namun begitu demokrasi pada taraf obyektif tidak menggambarkan kesesuaian dengan sifat-sifat moralis tersebut. Pada tataran riil justru dalam sistem demokrasi yang telah kita lakasanakan sampai hari ini, justru meyakinkan kita bahwasanya demokrasi semakin mempersulit kehidupan sebagian besar orang. Pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan ekonomi antar kelas nampak dengan sangat telanjang. Benarlah apa yang dikatakan Leon Trotsky bahwa demokrasi formal yang diterapkan dalam masyarakat berkelas, hanya menguntungkan sebagian kecil pemilik.
Kebebasan seperti yang ditawarkan dalam sistem demokrasi tidak mengapropriasi kepentingan kelas proletariat. Kalau menyetujui frase di atas dengan kata lain para pemilik usaha dan kaum kelas menengahlah yang dapat memanfaatkan sistem ini untuk mendapatkan profit. Kebebasan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat lebih bermakna kosong bagi mayoritas rakyat yang bekerja sebagai buruh, petani, nelayan, dan kaum yang secara ekonomi termarginalkan, sebab mereka tidak memiliki alat produksi dan kapital yang cukup untuk menghasilkan produk.
Analisa situasi memperlihatkan banyak kecocokan bagaimana pola demokrasi telah menguntungkan pihak-pihak yang kuat secara ekonomi. Bagaimana mekanisme prosedural demokrasi telah mendorong para pengusaha dengan enak membuka perusahaan, dengan menggusur paksa petani. Dalam mekanisme prosedural demokrasi pula, kekuatan asing dan privatisasi usaha melenggang mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya di atas tanah warisan leluhur suku pedalaman.
Hubungan Antara Kapitalisme dan Demokrasi
Kapitalisme hidup dari kondisi kebebasan untuk berusaha. Secara historis, kapitalisme tumbuh dari mekanisasi di Eropa. Namun kebebasan berusaha itu semakin lama telah semakin berkembang dan diterima sebagai satu-satunya kepastian dalam berbisnis. Akumulasi kapital dengan mengambil nilai lebih yang diperoleh dari tenaga kaum buruh yang diupah menjadi motif usaha yang harus mau tidak mau ditempuh.
Hubungan antara kapitalisme dan demokrasi layaknya hubungan gelas dan air. Pertama-tama kapitalisme merupakan sistem ekonomi, sementara itu demokrasi adalah sistem pengaturan bermasyarakat atau politik. akhirnya, melalui perkembangan ekonomi yang semakin matang, kapitalisme harus memilih kebebasan sebagai satu-satunya mekanisme berusaha dan cara mengakumulasi keuntungan terbaik. Imperialisme dan kolonialisme merupakan salah satu cara untuk melakukan akumulasi kapital, sementara monarki, republik, dan demokrasi menjadi jalan politik yang bisa menyokong tumbuhnya kapitalisme itu.
Kapitalisme berkembang dari penghisapan tenaga kerja para buruh penghasil produk baik secara manual atau mekanis. Tidak bisa dipungkiri bahwa, penghisapan dan kenyamanan hidup kaum yang terhidupi dari sistem ini secara tidak sengaja telah mengarahkan situasi pada ancaman barbarisme yang penuh dengan kekerasan dan ketidakpastian. Ancaman fasisme itu datang jikalau situasi yang ada tidak diarahkan pada penciptaan apa yang disebut diktator proletariat dimana negara buruh tercipta.
Fungsi Partai dalam Demokrasi Borjuasi
Bangsa kita tumbuh di atas realitas penindasan kolonialisme dan imperialisme Belanda dan setelah itu Jepang. Dari situasi tertindas ini, kesadaran rkyat muncul dalam berbagai organisasi-organisasi termasuk salah satunya adalah partai politik. jadi, partai politik kita pada pasca perang kemerdekaan merupakan gambaran kesadaran rakyat untuk melakukan perlawanan. Dari partai itulah gagasan-gagasan tentang kemerdekaan awal mula didiskusikan oleh banyak pemikir. Dialektika kemerdekaan menemuakn muaranya dalam partai-partai tersebut. Dan dalam setiap partai dapat dibedakan arah, strategi dan ideologi untuk mencapai kemerdekaan. Namun dari kontradiksi permukaan tentang bagaimana kemerdekaan itu harus direbut, akhirnya situasi mempertemukan gagasan banyak partai itu dalam perlawanan-perlawanan rakyat melawan rezim kolonial yang mengalami krisis.
Dari gambaran tersebut, timbullah pertanyaan adakah kesesuaian antara kondisi kepartaian pada masa pra revolusi maupun setelah revolusi kemerdekaan dengan realitas kekinian? Rasa-rasanya gambaran kepartaian yang ada seakarang dengan kini, jauh berbeda. Situasi sosial pra-revolusi kemerdekaan mendudukkan partai-partai sebagai pihak-pihak yang penting sebagai alat mobilisasi dan wadah rakyat. Sementara itu, setelah pasca kemerdekaan situasi berubah lain, ada transformasi pada tubuh partai dimana ideologi meskipun masih penting namun telah bergeser menjadi alat mobilisasi eksekutif dan penyokong demokrasi liberal yang disokong oleh ambisi kapitalisme dibalik layar.
Transisi Orde Baru ke Reformasi menempatkan partai sebagai instrumen politik utama dalam kontestasi memperebutkan demokrasi liberal. Namun perebutan dan kontestasi demokrasi itu hanyalah menyentuh pada perebutan-perebutan suara untuk mencari pengikut. Demokrasi borjuis mendudukkan partai sebagai seremonial untuk mengalihkan kebutuhan politik untuk mengganti mode produksi kapitalis yang nyata-nyata membelah masyarakat ke dalam dua kelas. Reformasi dan transisi dari kapitalisme negara ke dempkrasi borjuis merubah kulit namun sama dalam esensi, karena penghisap itu berubah dari semua dikuasi negara, kini dikuasai perusahaan-perusahaan.
Partai Politik dan Nasibnya Nanti
Sungguh jauh kita temui gambaran partai yang ideologis dan tidak terjebak pada politik uang dan ekonomi. Tidak ada dan amat nyaris tidak kita saksikan gambaran partai kader yang kuat dan ketat dalam hal keanggotaan. Akibat dari situasi ini, adalah ketidakpercayaan masyarakat pada politik dan hal-hal pengaturan masyarakat. Mereka abai dan sudah jengah dengan kehidupan politik normal yang tidak semakin memperkaya para elit-elit partai namun rakyat yang bekerja justru mendapati dirinya semakin sengsara dalam hidup.
Berdasarkan hasil verifikasi oleh KPU nama-nama partai yang lolos untuk berkompetisi pada 2014 telah diumumkan. Pendulum politik kembali dinamik, arah bandul politik sulit ditebak. Kontestasi politik mulai menghangat menjelang pemilihan umum 2014. Partai-partai politik baru bermunculan dan mereka mengembangkan diri dengan strategi-strategi baru mengiklankan diri ditengah-tengah kesulitan hidup rakyat. Partai-partai mengidentifikasi permasalahan rakyat dan menghasilkan partai dengan jargon-jargon populis sehingga pantas untuk dipilih dalam pemilihan umum 2014.
Dalam sebuah sistem politik tentulah ada kekurangan dan kelebihan. Kalau di masa lalu, otoritarianisme negara menghasilkan kapitalisme negara yang berwajah garang. Atau menghasilkan elite-elite yang berhak memaksakan keinginannya. Kini saat demokrasi diterapkan yang terjadi keinginan itu dikemas secara populis sehingga meskipun kesannya sangat afirmatif namun berakibat sama kemuramaan yang sama dengan nasib rakyat.
Kalau masih bisa diselamatkan, logika kepartaian dalam demokrasi di Indonesia perlu ditinjau ulang. Bukan salah partai atau salah rakyat, ini salah sistem atau struktur demokrasi yang dibangun secara keseluruhan yang semakin menunjukkan ketidak sesuaian dengan realitas budaya sehari-hari, sehingga kesadaran rakyat dan elit yang terbentuk sangat naif dan prematur. Fungsi partai dalam pemilihan umum tidak menghasilkan pemimpin-pemimpin yang merakyat paham masalah rakyat.
Partai masih memakai baju lama yang moralis dengan juru pidato namun akan berbalik arah dalam praktik jika terpilih. Sebalinya, jika gagal terpilih, oposisi yang terjadipun bersifat kontraproduktif terhadap jalannya pemerintahan yang terang sangat merugikan rakyat.
Demokrasi kita demokrasi kelas menengah yang padat modal namun miskin moral dan etika. Seorang yang ingin sukses dalam politik dituntut adalah orang-orang yang mapan secara finansial. Sehingga partai yang adapun kebanyakan mendesain partainya menjadi partai massa yang mengeruk suara secara instant dengan melakukan deal-deal dan money politik.
Rendahnya tingkat partisipasi publik dalam pemilihan umum (60 % dari total suara) menjadi sebuah kewajaran sebagai akibat kausal atas peran partai yang dipandang gagal, demokrasi prosedural tidak disertai demokrasi sosial substantif. Identifikasi permasalahan rakyat oleh intelektual-intelektual akademis menjadi obat di antara sebagian besar rakyat yang bingung untuk mengidentifikasi permasalahannya yang sejati.
Masalah rakyat hari ini adalah masalah ekonomis. Masalah kesenjangan antara kelas menengah, dan pemilik dengan rakyat yang hidup sebagai pekerja yang tak tentu nasibnya. Kalau uang adalah alat penggerak rakyat menuju bilik-bilik suara hal itu berarti, pemilihan umum yang pada awalnya dipandang sebagai saran yang legitim melakukan persidangan politik telah salah di pahami.
Dari reformasi sampai sekarang event-event pemilihan umum dapat kita pahami bagaimana kuatnya peranann kelas menengah dan pengusaha-pengusaha di dalamnya. Seringkali dalam event-event pemilihan tidak dihasilkan pemimpin yang ideologis dan visioner, sebaliknya yang kita temui dari pemilihan umum itu menjadi alat tumpangan dan instrumen politik kelas penguasa untuk memperluas proses akumulasi kapital atas sumber daya bersama yang dimiliki masyarakat.
Situasi ekonomi yang menindas sebagian besar rakyat baik di kota maupun desa patutlah membuat kita pesimis tentang masa depan politik yang demokratis dan benar-benar menjadi representasi suara rakyat. Sekiranya desain politik dan demokrasi prosedural ini masih dipertahankan, akibat terjauh adalah obyektifikasi rakyat yang dilakukan partai-partai politik saja.
Partai politik akan semakin banyak karena kelas menengah atau pemodal yang memiliki usaha semakin besar. Sementara itu dalam kepepentingan usaha yang menjadi tujuan utama para pemodal itu, yakni melakukan proses pelipatgandaan keuntungan bermacam ragam. Sehingga wajar saja kalau ada berbagai macam varian partai yang berbeda dalam kemasan namun secara esensial sama dalam visi, yakni merebut suara rakyat diparlemen untuk menelikung.
Arif Burhan; devisi politik LSDPQT.
Sebagaimana dimuat di politik.lsdpqt.org edisi 11 juni.
gambar :
ko.gofreedownload.net/free-vector/vector-clip-art/clown-131347/#.U6EeQZSSxe8
www.anglophone-direct.com/Clown-wanted
www.anglophone-direct.com/Clown-wanted
0 komentar :
Posting Komentar