Oleh: Arif Burhan
Realitas politik pemilu legislatif 9 April menanjak ritmenya. Hari H pemilihan tinggal menunggu hitungan hari. Di berbagai Dapil para kontestan berikut kader dan mesin partai saling berseteru, seluruh sumberdaya politik dieksploitir demi tujuan akhir meraup suara dan kemenangan.
Panggung kekuasaan diisi oleh para aktor yang saling berjibaku membujuk rayu bak badut. Sementara di pihak rakyat terpojok menyaksikan buruk dan kotornya opera elite. Para pemilih semakin muak setelah mengetahui karakteristik asli demokrasi yang sangat transaksional dan pragmatis.
Ditengah apatisme yang mengancam, pihak penyelenggara dan mereka yang diuntungkan dengan adanya Pemilu terus mendorong agar rakyat jangan Golput. Mereka bersusah payah menyebarkan mitos dengan jargon serupa, "Pemilu sebagai sarana perubahan!" atau bahasa kerennya melakukan sirkulasi elite.Namun, pengalaman telah mengajarkan rakyat untuk tetap bersikap kritis dan tidak secara mudah terkooptasi jargon-jargon elite birokrasi dan partai politik.
Menarik sejarah, demokratisasi kencang berhembus semenjak reformasi, namun masih nihil menghasilkan nilai-nilai yang memihak massa. Perubahan yang bagi orang kecil dimaknai pada sekedar pemenuhan kebutuhan dan terjaminnya kesehatan, pendidikan yang layak masih jauh dari kenyataan. Dari Pemilu ke Pemilu mereka hanya sekedar diposisikan sebagai obyek pencoblos yang pasif. Ironisnya, agenda lama reformasi untuk mengenyahkan anasir antek-antek Orde baru, panggung demokrasi pasca reformasi justru memberikan porsi lebih pada para petualang lama mencalonkan diri. Kalau tetap berlangsung di 10 April, demokrasi dengan eleksi hampir dipastikan, hanya mengangkat satu penindas dengan penindas dengan topeng yang lain.
Euforia Partai Politik
Euforia partai politik semakin menjadi-jadi, sistem multipartai yang dipakai menguntungkan para politisi teras Parpol saja. Kalau pada Orde baru mereka yang duduk sebagai ABRI, reformasi melahirkan elite politisi partai. Kalau dibandingkan massa kebanyakan, jurang kekayaan antara para politisi partai dengan massa sangat lebar. Saat baliho-baliho ditancapkan, resesi ekonomi menyusup meracuni pembuluh nadi kaum kecil. Tak syak lagi, apatisme dengan potensi 30% pemilih yang kemungkinan akan Golput, merupakan lampu merah betapa regime Pileg ditantang mencari jawab atas kesemrawutan politik yang tengah berlangsung.
Sejauh proses pemilihan, rakyat disuguhi berbagai pendekatan berikut gombalan plus uang saku dari para kontestan. Pun begitu, untuk tergiur dan berharap memastikan suara pemilih nampaknya susah sekali bagi para kandidat yang sudah bersusah payah untuk menang Pemilu. Rakyat sebagai pemilih mengalami trauma politik yang terlalu panjang, termasuk dalam rentang waktu 16 tahun terakhir.
Mengintip Produk Akhir
Pasca pileg menyisakan kesakitan tak terperih pada pihak caleg entah yang menang ataupun kalah. Hitung-hitungan proses yang menyita banyak biaya dan ongkos, secara ekonomis membuat mereka yang tadinya berniat nyambut gawe untuk rakyat harus mulai berhitung. Tentu saja bukan angka yang kecil telah dikeluarkan untuk biaya maupun ongkos pemilihan yang menyentuh angka ratusan juta atau milyaran. Hitungan modal tersebutpun, belum kalau dana yang dipakai ternyata berstatus pinjaman atau hutang yang resikonya harus mengembalikan setelah terpilih. Teka-teki bagaimana pasca pileg dapat kita lihat dari ini.
Lebih jauh ke persoalan kalkulasi, angka minimal bagi caleg setingkat DPRD Kabupaten ataupun Kota seorang Caleg minimal harus berbekal modal ratusan juta, belum kalau naik ke tingkat DPR provinsi atau pusat, dengan skup wilayah yang lebih luas tentu saja biaya dan ongkos politik yang dikeluarkan akan lebih besar. Jadi, kompetisi dalam situasi seperti ini, sebenarnya membutuhkan mereka yang berpengalaman dan bermental kuat. Kalau caleg polos, mereka hanya akan jadi bulan-bulanan broker dan makelar yang pandai klaim, namun kosong di lapangan. Hal ini memancing prediksi sejumlah psikolog tentang akan maraknya Caleg yang depresi pasca pileg ini. Proposisi ini wajar saja, sebab logikanya mereka yang kalah tentu akan lebih banyak dari mereka yang menang, belum lagi kalau dirunut darimana sumberdana para caleg ini berasal seperti telah dijelaskan di atas.
Demokrasi elektoral seperti ini, sudah sewajarnya akan menjadi catatan para pemerhati dan pegiat politik di tanah air. Sistem secara keseluruhan tentu harus kita benahi secara radikal. Tidak terbatas pada urusan teknis pemilihan seperti apakah sistem distrik atau proporsional dengan daftar, sebab cuaca politik seperti ini susah untuk terus dipertahankan untuk diputar ulang dalam siklus 5 tahunan. Satu Catatan yang penting bahwa demokratisasi dengan pemilu secara prosedural awalnya hanyalah upaya penyiasatan agar ruh kebebasan dan kejujuran dapat meningkatkan trust pemilih atau rakyat tidak berbalik seperti ini, demokrasi justru menjerembab kontestan dan pemilih dalam pesta ilutif.
Direct Democracy
Seperti di Athena sebuah komunitas di Yunani pernah berkembang dimana proses pengambilan dan perumusan kebijakan yang menyangkut urusan publik dihadiri oleh seluruh komunitas. Dari segi proses pembuatan kebijakan, kehadiran warga memberikan legitimasi pada keputusan yang dibuat, rakyat adalah subyek sekaligus obyek. Munculnya sistem elektoral sendiri, sebenarnya muncul sebagai akibat cacat feodalisme dimana segolongan aristokrat atau kelas bangsawan membuat keputusan atas nama wakil komunitas yang dilegitimasi oleh kekuatan tradisional.
Penulis melihat, kecenderungan yang muncul kemudian adalah krbangkitan kembali direct demokracy sebagai lawan perwakilan yang semrawut (chaotik) tersebut. Bagaimanapun masyarakat yang Chaos dan berfusi hanya mungkin berdaya kalau mereka dapat menyuarakan suaranya tanpa diwakilkan, mereka dapat hadir dan menyaksikan sendiri proses pembuatan keputusan politik, sebuah arus yang datang dari bawah. Contoh penerapan Direct Democracy ini, oleh beberapa golongan sosialis dan anarchy telah melihat demokrasi langsung ini sebagai mekanisme pembuatan keputusan yang baik. Apalagi, kini dengan teknologi yang mampu memampat ruang dan waktu, kerisauan tentang skup dan jumlah rakyat yang luas dapat disiasati. Tidak ada alasan bahwa Direct Democracy hanya cocok diterapkan di komunitas kecil saja.
Catatan akhir
Saya pesimis strategi Turba (turun ke bawah) atau blusukan merupakan sebuah indikasi bahwa telah ada peningkatan kualitas demokrasi kita. Menghubungkan turba sendiri tak lain dari sebuah upaya agar elektabilitasnya naik, sama saja menerima penipu semata karena berwajah santun. Tak perlu Turba, kalau partisipasi rakyat per individu sudah dapat diakomodasi. Turba atau blusukan, akan kita cela karena murni datang sekedar kebutuhan marketing. Kita tidak melihat turba sebagai ukuran baik atau tidaknya caleg, melainkan sekedar trik dan kelicikan caleg untuk memenangkan kontestasi naif. Di atas kembali saya ingin menegaskan bahwa pileg tahun ini tidak akan menjamin siapa yang terpilih tidak akan melakukan skandal seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sumber :
Miriam Budiarjo, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Gramedia, Jakarta cet ke 3 tahun 1999.
Dipa Nusantara Aidit. Marxist Internet Archive, Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa.
Arif Burhan, Devisi Politik LSDP-QT
maka dari itulah, kita butuh KEWASPADAAN, bukan KECURIGAAN yang hanya akan melahirkan rencana-rencana gerakan yang tidak lebih dari bentuk lain frustasi permanen para pemburu kekuasaan.
BalasHapuspercayalah bahwa REVOLUSI BUKANLAH MIMPI BURUK.
...dan saya sepakat kalau "blusukan" hanyalah pencitraan yang tidak ada kerja pembebasan sama sekali, he he he