Resensi : Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

(Catatan Pulau Buru) 
Penulis             : Pramoedya Ananta Toer 
Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 
Tempat terbit    : Jakarta
Tahun Terbit     : 2001 
Tebal & Jumlah Halaman :IX + 218 hlm. 14 cm x 21 cm 
ISBN               : 979-9023-48-3 

Buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer


Pram menyerahkan maskah ini sehari sebelum Ia pergi ke Jepang guna menerima penghargaan dari The Fukuoka Asian Cultural Prize ke-11. Pram entah mengingat atau sengaja ingin membeber kekejian Nippon saja, buku ini bergegas ia serahkan ke penerbit untuk diterbitkan. Buku ini berdasar pada catatannya tentang nasib perempuan remaja Indonesia (terkhusus Jawa) yang terpaksa harus menjadi korban kebiadaban balatentara Jepang. Para perempuan remaja ini, dijadikan perempuan penghibur (Junghu Ianfu). Kenapa mereka harus mengirim perempuan dari Indonesia? Oleh Pram ini dijelaskan sebagai kesulitan transportasi akibat hubungan laut dan udara yang terganggu karena tekanan sekutu pasca serangan ke-Asia Tenggara (pengantar hal akhir). 

Seluruh buku ini terbagi dalam 8 bab yang disusun secara ritmis dari bab 1 dengan judul Janji Indah, diakhiri bab 8 - Menjejak Ibu Mulyati dari Klaten. Dari beberapa bab awal, Pram secara pelan mengangkat nasib para perempuan ini dari awal mula –proses pengiriman remaja - sampai hasil akhir setelah Jepang kalah. Secara jenial, Pram mengisahkan kebohongan Jepang pada para perawan remaja dengan iming-iming hendak disekolahkan di Jepang dan Singapura. Faktanya alih-alih menjadi para pelajar yang cerdas untuk mengisi kemerdekaan bangsanya, mereka para perawan remaja yang dijanji akan disekolahkan oleh Jepang ini justru dijadikan Junghu Ianfu. Akibatnya alih-alih menjadi remaja dewasa yang matang, para perempuan remaja ini justru harus berakhir terbuang dari tanah asal, malu dan rusak mimpi dan cita-citanya. 

Dalam Perand dunia ke II bertarung dua kekuatan, antara Imperialisme fasistik Jepang yang berfaksi dalam blok Timur, bersama Italia dan Jerman yang berperang melawan sekutu AS dan Inggris dan negara-negara liberal dalam blok Barat. Hasil akhir perebutan kuasa ekonomi politik pada PD ke II itu menghasilkan krisis dan kesulitan ekonomi di negara yang dieksploitasi atau terjajah. Bagi negara yang dijajah pergantian dari blok Barat ke Timur tak merubah nasib negara yang dijajah termasuk Indonesia, yakni masih tetap sebagai obyek penghisapan yang menjadi korban. Fokus yang menjadi telaah catatan pram dalam buku ini berkenaan pada dampak Imperialisme atas nasib wanita, pada apa yang kita kenal sebagai Junghu Ianfu. 

 Di Indonesia dengan Propaganda akan disekolahkan di Jepang dan di Singapura para perawan remaja ini ditikung, mereka yang menjadi korban rata-rata justru berasal dari anak para priyayi yang berasal dari desa yang setengah kota. Mereka yang menjadi Junghu Ianfu dari Indonesia lebih banyak berasal dari anak kasta priyayi, kenapa? Karena mereka hidup dari hasil ketaatan pada negara Nippon. Para Priyayi ini diceritakan tak berkutik menghadapi kebijakan bohong itu, alih-alih mencari anak orang lain mereka perempuan remaja dari saudara atau justru anak sendirilah yang dikirimkan untuk pergi ke luar untuk bersekolah tersebut. 

Pram menelusur asal para perempuan remaja ini dari daerah asalnya, mereka ada yang berasal dari Solo, Semarang, Jogja, Subang -Jawa Barat dan daerah lain. Kencangnya propaganda Jepang dan semangat nasionalis keindonesiaan yang tumbuh, para remaja ini seperti mengalami proses kepalsuan atas apa yang tengah menimpanya. Mereka nampak bersemangat sejak diangkut masuk dalam truk-truk, ditatar dalam barak penampungan, masuk kapal sampai akhirnya harus meratap-tangis dan berontak melawan manakala tahu hanya untuk didistribusikan ke garis-garis depan untuk diruyak dan digilir keganasan serdadu Jepang. 

Di akhir bab, Pram bercerita melalui penjejakan para korban terutama pada mantan perempuan remaja yang masih dapat dia telusur di pulau Buru. Tempat pada saat itu Pram juga dipenjarakan sebagai Napi. Ada ia temui di sana siti F. (Fatimah), ibu Mulyati, dan beberapa nama eks eks -Junghu Ianfu lain. Di Buru, Pram menemui mereka dalam usia yang sudah tak segar lagi (1942-1945 rata-rata perempuan iini masih usia 17 tahun ke bawah, Pram menlakukan penjejakan catatan tentang ini pada tahun 1979). 

Akhirnya terlepas dari masih terasa kakunya buku ini, secara total dapat kita lihat bagaimana kemampuan Pram dalam mendokumentasikan sebuah peristiwa sejarah secara ulet, teliti dan rajin. Pram selain mencari dokumentasi tertulis dari berbagai sumber juga melakukan wawancara kesaksian langsung para korban dan narasumber lain yang tahu peristiwa itu. Padahal, sebagai Tapol Buru pada saat itu Pram tentu berposisi sangat sulit untuk bergerak bebas mencari data dan menulis, namun dengan segala keterbatasan itu justru Pram tak ingin berhenti menguak peristiwa kekejian Imperialisme Nippon di tanah air. Pram orang yang konsisten memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan. Semangat Pram tentu saja patut kita acungi jempol untuk komitmennya. Ia tak ingin kisah seperti Junghu Ianfu itu terulang pada sejarah anak negeri. 

   Terakhir sengaja saya ingin mengambil beberapa penggal tulisan dari buku ini, tentang Malat (Ibu Mulyati):
“Lige pernah bercerita bahwa terakhir kali ia melihat Malat adalah setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Pada waktu itu ia masih suka menangis. Pertanyaan yang timbul: Mungkinkah seorang anak yang cengeng dalam perkembangannya barang dua puluh tahun kemudian bisa berubah jadi penentang dan pelawan? Bisa. Penderitaan tak tertanggungkan bisa menyebabkan tiga macam sikap: menyerah tanpa syarat, melawan atau membiarkan diri hancur. Mulyati memilih melawan. (hal. 104)”
AB.
SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar