UU No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Belum Pro Petani
BANJARNEGARA, CAPING.LSDPQT.org - Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini melansir adanya depopulasi sapi sampai 2 juta ekor pada 2013 yang pada pada tahun 2011 mencapai 14 juta ekor. Ini berdampak banyaknya sapi betina yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH), padahal ini melanggar. Demikian paparan Ketua Komisi IV DPR RI Romahurmuzy saat menjadi narasumber sosialisasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, Sabtu (12/10) bertempat di Hall Hotel Surya Yudha, Banjarnegara, Jawa Tengah.
Selain sapi, anggota DPR RI dari Fraksi PPP tersebut mengemukakan beberapa komoditas pertanian mengalami penurunan kualitas dan kuantitas, sebut saja
kedelai, jagung, singkong, garam, dan beras.
"Produkstivitas kedelai pada tahun 1996 mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, bahkan bisa ekspor. Namun saat ini kita harus impor 1,7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan yang mencapai 2,2 juta ton pertahun. Begitu pula dengan jagung. Kualitas jagung dalam negeri tidak bisa memenuhi standar kebutuhan indutri. Garampun kita juga harsu impor. Padahal Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia," paparnya.
UU Nomor 18 tahun 2012 Tentang Pangan ini, menurutnya sudah mengatur individu-individu serta pengutamaan pangan lokal yang mana tidak tertera dalam undang-undang pangan yang lama. Selain itu undang-undang ini juga meletakkan asas: kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, keberlanjutan, dan keadilan dalam penyelenggaraan pangan.
Namun saat menanggapi pertanyaan salah seorang peserta tentang penegagkkan reforma agraria sebagai bagian dari pemenuhan ketahanan pangan, Romahurmuzy tidak memberikan jawaban yang pasti. Pendapatan devisa negara dari sektor perusahaan swasta - sebut saja kelapa sawit yang menjadi pengekspor CPO terbesar di dunia - menjadi kebimbangan pemerintah dan anggota dewan dalam penegakkan reforma agraria ini.
Sementara menurut Ketua Umum Serikat Paguyuban etani Qaryah Thayyibah (SPPQT) Ruth Murtiasih Subodro, UU yang baru ini belum mencerminkan sektor petani kecil sebagai subyek aspek kedaulatan pangan. Peningkatan kemampuan produksi pangan secara mandiri yang tertera dalam pasal 4 bisa saja pelakunya pihak swasta.
0 komentar :
Posting Komentar