HENTIKAN LIBERALISASI PERTANIAN DAN PANGAN NASIONAL,
BERIKAN JAMINAN PERTANIAN DAN PANGAN YANG MANDIRI BERKELANJUTAN
BAGI RAKYAT
BERIKAN JAMINAN PERTANIAN DAN PANGAN YANG MANDIRI BERKELANJUTAN
BAGI RAKYAT
Krisis pangan
Krisis pangan menjalar ke mana-mana, termasuk Indonesia. Sekitar 852 juta penduduk dunia kekurangan pangan. (FAO, 2004). Sebagian besar (815 juta) orang kelaparan tinggal di Negara Sedang Berkembang. Sekitar 75 persen dari mereka yang lapar adalah penduduk pedesaan. 6 juta anak meninggal karena kelaparan setiap tahun.
Dari 265 kabupaten yang ada di Indonesia: 100 kabupaten termasuk rawan pangan. 40 kabupaten tergolong agak rawan pangan, 30 kabupaten termasuk daerah rawan pangan, 30 Kabupaten yang sangat rawan pangan (WFP, 2005). Sebagian besar penduduk rawan pangan tinggal di pedesaan termasuk petani tanaman pangan.
Ditingkat nasional telah diterbitkan Undang-undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Kepres no 132 th 2001 Tentang Dewan Ketahanan Pangan. Para gubernur dan bupati se Indonesia berjanji mengurangi angka kelaparan 1%/th. Secara rutin presiden memberikan penghargaan ketahanan pangan kepada individu atau kelompok. Namun fakta-fakta dilapangan menunjukkan yang terjadi sesungguhnya belum mampu mengatasi krisis pangan dan kelaparan.
Liberalisasi perdagangan pertanian dan pangan
Pangan yang telah diakui sebagai hak asasi manusia sekarang dijadikan barang perdagangan. Tatanan sosial-ekonomi dunia selama dua dasa warsa terakhir mengalami perubahan mendasar yang cepat. Perubahan ini ditandai dengan semakin membesar dan menguatnya posisi perusahaan raksasa pertanian-pangan yang berpusat di negara-negara kaya. Di sisi lain, peran negara yang merupakan penanggungjawab terpenuhinya hak rakyat atas pangan dan pengendali pembangunan ekonomi politik semakin melemah.
Celakanya, perusahaan itu juga menguasai sektor pertanian dan pangan yang selama ini menjadi sumber penghidupan jutaan keluarga petani dan kebutuhan pokok rakyat di seluruh dunia. The United Nations Environment Program mengatakan bahwa “pertanian modern” yang dimotori perusahaan raksasa telah menjadi ancaman utama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal serta keanekaragaman hayati, kesehatan lingkungan, dan keamanan pangan. Sistem pangan global yang dipaksakan kepada negara-negara berkembang kemudian menggusur sistem pertanian lokal dan nasional. Padahal pertanian merupakan pekerjaan 1,3 milyar petani dan menghidupi lebih dari 2,5 milyar penduduk dunia. Lebih dari 50% penduduk Negara-negara Sedang Berkembang bekerja di sektor pertanian.
Pertanian juga bagian penting bagi kaum perempuan yang merupakan tulang punggung pemenuhan pangan keluarga. Para perempuan memberikan sumbangan sekitar 60 – 80 % dalam memproduksi pangan di negara-negara sedang berkembang. Tanpa adanya intervensi yang memadai dari pemerintah negara berkembang seperti Indonesia maka perusahaan pertanian-pangan akan semakin menguasai dan memonopoli kekuasaan pasar.
Saat ini sejumlah perusahaan mendominasi setiap sektor dalam sistem pangan, mulai dari input seperti benih, pestisida, pemrosesan, dan pengolahan pangan, serta berbagai bentuk perdagangan eceran dan jasa pangan. Hanya dua perusahaan (Monsanto dan DuPont) bersama menguasai pasar benih jagung dunia (65%) dan kedelai (44%). Tujuh puluh lima persen makanan manusia berupa biji-bijian. Tiga perusahaan (Cargill, Archer Daniels Midland dan Bunge) menguasai sekitar 90% dari seluruh perdagangan biji-bijian dunia. Di sisi lain, jutaan keluarga petani hancur usahanya selama periode yang sama.
Sistem pertanian masyarakat desa yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence) dengan cara berkelanjutan, yang berabad-abad menjadi basis kehidupan mereka kemudian dilenyapkan oleh konsentrasi pemilikan tanah, penguasaan benih, dan alat-alat produksi lainnya ke tangan segelintir perusahaan transnasional. Petani tidak lagi memiliki lahan untuk berproduksi, tidak punya pekerjaan, tidak punya uang untuk membeli makanan bahkan bila harga pangan impor itu murah sekalipun.
Kebijakan liberasilasi pertanian nasional
Masuknya Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan tekanan Bank Dunia dan Lembaga Keuangan Internasional (IMF) mendorong pemerintah untuk meliberalisasi sector pertanian. Kebijakan ini dimulai tahun 1998, masa pertama kali untuk Indonesia harus membayar hutang luar negeri yang dipinjam pada masa Soeharto. Untuk membayar hutang tesebut, Pemerintah harus melakukan pengurangan dan yang terparah adalah pencabutan subsidi disektor publik. Hal tersebut diwujudkan dalam pencabutan subsidi pertanian pupuk, pendidikan, kesehatan, melepas tata niaga pupuk, menghapus pembiayaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Termasuk didalamnya pembukaan impor beras bagi para importir dan bukan lagi dimonopoli oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Sejalan dengan keinginan IMF pada awal 1998 Indonesia meliberalisasi impor beras dan menerapkan tarif impor nol persen. Kebijakan ini menyebabkan petani tidak lagi memperoleh insentif untuk memproduksi beras dan dibiarkan bertarung di pasar bebas, berhadapan dengan beras impor yang harganya lebih murah karena disubsidi negaranya ketika diekspor (dumping).
Liberalisasi perdagangan pangan pada gilirannya meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor. Pada periode 1989-1991, Indonesia merupakan pengekspor pangan dengan nilai sekitar US$ 418 juta/tahun. Namun sejak 1994, Indonesia beralih menjadi pengimpor pangan.Ketergantungan kepada impor komoditi pangan yang besar dan berkelanjutan sangat merugikan Indonesia, antara lain karena akan menguras cadangan devisa dan memperkuat kendali politik negara maju melalui pangan.
Kebijakan pemerintah untuk meliberalisasi sektor pertanian ini jelas merugikan petani Indonesia karena pada umumnya petani subsisten dengan penguasaan lahan kecil, kurang dari 0,25 hektar setiap keluarga. Hal tersebut berbeda dengan para petani di negara maju yang berlahan luas. Selain karena subsidi pemerintah negara maju yang besar kepada petaninya, mereka juga memiliki akses terhadap informasi, infrastruktur, teknologi dan sumber daya manusia yang tinggi. Dengan demikian, mereka sungguh tidak berada dalam tingkat persaingan yang sama. Oleh karenanya liberalisasi akan memberi lebih banyak keuntungan kepada petani kaya di negara-negara maju dibanding petani negara berkembang.
Liberalisasi perdagangan menyebabkan harga sarana produksi pertanian menjadi mahal sehingga biaya produksi pertanian meningkat. Di sisi lain, harga produk pertanian di dalam negeri merosot sebagai akibat banjir pangan impor murah. Meningkatnya biaya produksi dan merosotnya harga jual produk pertanian menyebabkan pendapatan petani merosot tajam. Disisi lain biaya hidup sehari-hari terus meningkat. Hal tersebut secara langsung mengancam sumber pangan dan kekayaan petani.
Bagi petani kecil dengan lahan sempit ataupun buruh tani, selain mengurangi konsumsi, tidak menyekolahkan anaknya, serta kegiatan usaha di luar pertanian merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan agar tetap bisa makan. Tidak hanya kepala keluarga dan laki-laki saja yang melakukan ini, tetapi juga perempuan dan bahkan anak-anak. Bila upaya tersebut belum mencukupi, mereka akan menjual aset yang dimiliki termasuk tanah yang menjadi sumber hidup petani, atau merelakan sebagian anggota keluarganya melakukan migrasi mencari penghasilan ke luar daerah. Kondisi yang semakin miskin menyebabkan banyak perempuan terpaksa harus meninggalkan anak-anak dan keluarga untuk mencari nafkah di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau di perkotaan sebagai pembantu rumah tangga.
Pentingnya mendesakkan kedaulatan pangan
Sejauh ini kedaulatan pangan belum menjadi visi pemerintah. Selama ini, visi pemerintah yang tertuang dalam UU No 18/2012 tentang Pangan. Dalam UU itu pembangunan pangan diletakkan dalam konsep ketahanan pangan (food security). Konsep yang diadopsi dari FAO itu didefinisikan sebagai kemampuan negara memenuhi kebutuhan pangan (warganya). Istilah ini menunjuk kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga, tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, dalam jumlah, mutu aman, merata, dan terjangkau. Di dalamnya ada empat pilar: aspek ketersediaan (food availibility), aspek stabilitas ketersediaan atau pasokan (stability of supplies), aspek keterjangkauan (access to supplies), dan aspek konsumsi pangan (food utilization).
Ketahanan pangan tidak menyoal siapa yang memproduksi, dari mana pangan diproduksi, dan bagaimana pangan tersedia. Yang penting, ada pangan dalam jumlah cukup. WTO bahkan menyebut ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di pasar (availability of food in the market), pangan yang mengabdi kepada pasar. Konkretnya mewujud dalam beleid ”memanen pangan di pasar” (impor) ketimbang ”memanen di lahan” (menanam sendiri). Juga tidak dipersoalkan berapa volume impor dan siapa yang paling diuntungkan dari kebijakan itu: importir kartel atau petani/konsumen miskin?
Presiden SBY menjelaskan, kenaikan harga pangan merupakan gejala global. Pandangan ini merupakan wujud konsep ketahanan pangan: memanen pangan di pasar. Dalam jangka pendek, kebijakan ini bisa menjadi obat kelaparan. Namun, dalam jangka panjang tak hanya menguras devisa, tetapi mengabaikan aneka sumber daya lokal. Ketika pangan kita tergantung impor, meski berdaya dalam ekonomi dan militer, secara politik amat rentan. Uni Soviet hancur karena embargo pangan AS.
Maka, amat perlu mendesakkan adanya kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan adalah hak tiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumber daya produktif serta menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, dan konsumsi) pangan sendiri sesuai kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing-masing (Hines, 2005). Pengambilan keputusan dilakukan di level lokal/nasional, bukan di bawah badan perdagangan internasional (IMF, Bank Dunia, WTO) dan korporasi global. Pangan bukan komoditas yang sekadar dijual.
Kedaulatan pangan adalah prasyarat ketahanan pangan
Kedaulatan pangan merupakan prasyarat ketahanan. Ketahanan pangan baru tercipta jika kedaulatan pangan dimiliki rakyat. Dari perspektif ini, pangan dan pertanian seharusnya tak ditaruh di pasar yang rentan, tetapi ditumpukan pada kemampuan sendiri. Untuk menciptakan kedaulatan pangan, pemerintah harus menjamin akses tiap petani atas tanah, air, bibit, pupuk, kredit dan pasar yang adil. Di tingkat nasional, kebijakan reforma agraria harus ditegakkan, air untuk pertanian harus dijamin, aneka bibit unggul local dan pupuk yang aman bagi lingkungan dan terjangkau bagi petani, dan kredit berbunga rendah harus jadi prioritas. Dalam konteks alam, petani perlu perlindungan atas aneka kemungkinan kerugian bencana alam, seperti kekeringan, banjir, dan bencana lain. Negara perlu memberi jaminan hukum bila itu terjadi, petani tidak terlalu menderita.
Dalam lingkup sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar yang menjadi fondasi pertanian. Ini harus dikembangkan guna mengatasi struktur pasar yang tidak adil di dalam negeri dan siasat atas struktur pasar dunia yang tak adil bagi negara berkembang. Pendek kata, semua yang menambah biaya eksternal petani, menurunkan harga riil produk pertanian dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian, perlu landasan hukum yang kuat. Bagi Indonesia, dengan segenap potensinya, tidak ada alasan untuk tidak berdaulat dalam pangan.
Mendasarkan pada keprihatinan diatas, bertepatan dengan Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang jatuh pada tanggal 16 Oktober 2013 ini kami Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), menyatakan keprihatinan dan mendesakkan tuntutan kepada Pemerintahan Indonesia sebagai berikut :
- Mendesak pemerintah untuk mencabut kebijakan liberalisasi pertanian dan pangan. Pertanian dan pangan seharusnya tidak dipertaruhkan pada mekanisme pasar yang rentan, tetapi harus dilindungi oleh Negara dengan bertumpu pada kemampuan sendiri.
- Mendesak pemerintah untuk menghentikan kebijakan import pangan karena sangat merugikan petani kecil dan menuntut pemerintah untuk melindungi produk yang dihasilkan petani kecil dalam negeri.
- Mendesak pemerintah untuk menjamin akses dan kontrol petani atas tanah, air, bibit, pupuk, kredit dan pasar yang adil.
- Dalam aspek sumber agraria tanah mendesak pemerintah untuk menjalankan kebijakan reforma agraria yang sejati sebagaimana diamanatkan dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1965.
- Dalam aspek sumber agraria air, menuntut pemerintah untuk mencabut UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004 karena tidak mencerminkankan prinsip penggunaan air untuk public tapi lebih berpihak kepada privat/swasta. Selanjutnya menuntut pemerintah untuk memberikan jaminan air yang cukup untuk konsumsi dan pertanian
- Dalam aspek input produksi bibit dan pupuk, mendesak pemerintah untuk menjamin petani dalam pemenuhan aneka bibit unggul local dan pupuk yang aman bagi lingkungan dan terjangkau bagi petani.
- Dalam aspek kredit, mendesak pemerintah untuik memberikan jaminan kredit berbunga rendah dan terjangkau bagi petani
- Dalam aspek pasar, mendesak pemerintah untuk menjamin pasar yang adil bagi petani. Pemerintah perlu menjamin struktur pasar yang menjadi fondasi pertanian. Ini harus dikembangkan guna mengatasi struktur pasar yang tidak adil di dalam negeri dan struktur pasar dunia yang tak adil bagi negara berkembang.
Salatiga, 16 Oktober 2013
Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT)
Ketua Umum
Ruth Murtiasih Subodro
(gambar: http://homeimprovementbasics.com/iammisc-dinner-plate-with-spoon-and-fork-clip-art-vector-clip-2.html)
0 komentar :
Posting Komentar