Gugur Gunung, Budaya desa yang tak dimiliki kota |
oleh: mujab
Gairah Tanggal Tua (GTT) telah berlangsung sebanyak 15 putaran. Gelaran seni dan budaya secara reguler dan telah berlangsung sebanyak ini tentu menggembirakan. Sebagai sebuah ikhtiar untuk menumbuh kembangkan jiwa berkesenian dan mengajeg kan kajian budaya, gelaran Gairah Tanggal Tua ini sedikit demi sedikit mulai menemukan bentuknya. Semakin ke sini konsep acara juga mulai tertata dan semakin baik.GTT XV di gelar di Desa Tukang, Kec. Pabelan Kab. Semarang.
Tema yang diangkat kali ini adalah Desa bukan Ndeso. Sebuah keluhan dimana istilah ndeso yang tadinya menunjuk pada tempat, yaitu sebuah wilayah pedesaan, kemudian berubah menjadi cap yang menyudutkan, merendahkan, melecehkan dan meremehkan. Ndeso dipandang sebelah mata dan dihadapkan pada satu istilah lain yaitu kutho. Padahal dari desa terbangun begitu banyak budaya yang mulia, besar dan bernilai luhur.
Baiklah, diskusi kita mulai. Budaya adalah wujud yang Nampak dari akal dan budi manusia. Budaya secara bahasa bersal dari dua suku kata: budi dan daya. Tetapi kata budidaya telah berubah arti menjadi upaya yangmenghasilkan sesuatu seperti beternak, menanam dan sebagainya. Oke mungkin itu juga bagian dari budaya, tetapi bukan disitu pembicaraan kita.
Budi dan daya dimaksudkan sebagai budi: alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Ada aspek kekuatan akal di sana. Daya: dimaknai sebagai kekuatan, kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak. Pemaknaan ini mengandung unsur-unsur dan potensi yang dimiliki manusia. Kadang dinamakan kekuatan, potensi, kemampuan, dan lainnya.
Desa. Secara geografis, desa kadang dibedakan dengan kota karena aspek letak, posisi, lokasi, dan plotting. Misalnya letak desa tentu saja di luar kota. Lokasi desa diasumsikan jauh dari kota. Plotting desa kadang tidak pernah disebut secara jelas dalam rencana pembangunan. Kalaupun disebut kadang hanya menyebut kawasan atau hamparannya saja, tidak secara jelas menyebut desa A, desa B dan seterusnya. Maka kemudian penempatan, prioritas pembangunan, peletakan, dan bahkan pemusatan sarana dan prasarana umum banyak terjadi di kota. Penerangan jalan di kabupaten semarang, misalnya, habis dananya untuk menerangi ibukota kabupaten sana, dan desa tetap saja gelap gulita.
Pusat pemerintah, pusat ekonomi, hiburan, jasa, terminal, stasiun, mengumpul di kota. Pabrik, pertokoan, perdagangan, perkantoran, semuanya ada di kota. Jalan lebar dan halus, transportasi tersedia, taman hiburan, kampus, semuanya di kota.
Dari segi asumsi selama ini, desa dan kota dibedakan berdasarkan titik tolak. Desa adalah titik tolak berangkat dan pulang, kota adalah titik tempat tujuan dan pekerjaan (yang diidamkan). Asumsi lainnya adalah warga kota jarang yang mengingkari dirinya sebagai warga kota, sedangkan warga desa ada yang mengingkari dirinya sebagai warga desa. Kota dibanggakan dan desa disesali.
Kenyataan di atas kemudian menjadikan sebagian warga desa memandang kota sebagai harapan, prospek, dan menggantungkan nasib. Desa pelan-pelan mulai ditinggalkan. Para pemuda, angkatan kerja, angkatan pemikir, angkatan produktif, berbondong-bondong datang ke kota. Desa kemudian menjadi sepi. Dijenguk seminggu sekali, sebulan sekali dan bahkan setahun sekali. Itu bagi para pekerja dan perantau. Tragis lagi para mahasiswanya jarang pulang, ngekost, berkegiatan di kampus dan luar kampus, tetapi tidak jua berkegiatan di desa. Ketika lulus, yang perempuan di bawa suaminya ke luar daerah, yang laki-laki jadi PNS dan pekerja bayaran, tinggal dikota.
Dari sinilah awal mula terjadi pembedaan pandangan masyarakat mengenai desa dan kota.
Ndeso
Ndeso itu awalnya merupakan penunjukan lokasi. Sebagainana dalan kalau menunjuk lokasi akan diucapkan ndalan. Missal: mlaku banter tibo neng ndalan. Tapi kalau menunjuk benda akan tetap diucapkan sebagai dalan . missal dalan solo-semarang. Jero, kalau itu lokasi maka diucapkan njero. Tapi kalau sifat maka diucapkan jero. Missal: sumure jero.
Dalam perkembangannya Ndeso berubah menjadi kata sifat, kebiasaan, penamaan, sikap, kecenderungan, keyakinan, perasaan tertentu, kecenderungan, dan kebudayaan itu sendiri. Ini memrihatinkan dan menegasikan desa sebagai potensi, sebagai tempat tersedianya pangan, sumber daya alam, sumber daya air, warisan kebudayaan, tradisi, budaya, nilai-nilai luhur, dan lain sebagainya.
Desa kadang dipandang sebelah mata oleh para pemangku kebijakan, penguasa, pemilik modal dan sebagian besar justru diamini oleh warganya. Ketika warga kota dengan pasar dan pemilik modal mengkampanyekan budaya pop, budaya hidup mewah, budaya konsumtif, warga desa banyak yang terharu, terlarut, mengamini dan memandang hal itu sebagai pencerahan. Ini kemudian didukung dengan system pendidikan yang memisahkan peserta didik dari desanya, dari budaya desanya, dan dari kekuatan serta potensi yang ada.
Sekolah mengajarkan panjang, lebar, luas lapangan sepak bola, termasuk berat standar bola sepak, tetapi tidak mengajarkan berapa berat standar unit jarang kepang. Anak diajak mempelajari gaya dan strategi bermain bola basket, tetapi tidak pernah diajarkan 4-4-2, 4-3-3, dan lain sebagainya, tetapi tidak diajarkan susur sungai, bersih kali, atau panjat pohon. Pergeseran budaya tidak bisa lepas dari sekolah. Yang diajarkan sekolah dianggap baik dan mulia. Yang ada di desa dianggap kuno,ketinggalan jaman, murahan, dan perlu ditinggalkan.
Desa
Desa adalah tempat dimana banyak hal berasal dan bermula. desa sampai hari ini menopang kekuatan politik ekonomi dan budaya. Pangan tetap saja bahannya dari desa. Sayur juga dari desa. Penjaga wilayah tangkapan air dimana airnya digunakan warga kota, ya di desa.
Kearifan local, budaya musyawarah, gotong royong, saling berbagi, kepedulian social, kepekaan dan solidaritas social, juga masih dipelihara desa. Penyedia tanaman untuk suplai pangan dan udara segar juga masih dipegang oleh desa.
Desa hari ini diharapkan mulai menggeliat, bangun untuk kembali memerankan kekuatannya. Desa sebagai sumber penghidupan baik ekonomi, politik maupun budaya diharapkan bisa kembali. Desa yang dulu digambarkan sebagai ndeso karena cara pandang miring dan penuh kepentingan, harapannya bisa menjadi desa sesungguhnya dengan segenap kekuatan dan potensinya.
Berbagai kegiatan seni dan budaya yang mulai menghilang diharapkan tumbuh dan kembali berkembang sambil menata bagaimana managemen dan pengelolaan seni dan budaya tersebut agar lebih menarik, bernilai guna, menjadi media aktualisasi warga desa dan mengejawantahkan filosofi kehidupan masyarakat desa itu sendiri.
Keberadaan dana alokasi desa sebenarnya menumbuhkan harapan adanya percepatan pembangunan kesejahtereaan warga desa. Berbagai kegiatan termasuk kegiatan berkesenian dan berbudaya harapannya termasuk yang di cover dalam pembeayaan pembangunan.
Namun ada hal yang patut di cermati dan di waspadai. Seni dan budaya desa saat ini berhadapan dengan proses industrialisasi, liberalisasi dan komersialisasi desa. Dengan semakin berkembangnya otonomi desa kita beberapa kali dihadapkan pada peristiwa dimana kebijakan pemerintah desa kadang tidak relevan dengan apa yang dibutuhkan warga desa. Hal ini karena pemerintah desa kadang lebih berpihak kepada pemodal, kepada industry dan kepada pemilik kepentingan yang berseberangan kepentingan warga desa.
Kasus salim kancil misalnya, dimana salim terbunuh karena menentang penambangan pasir pantai di desanya. Salim terbunuh dengan cara sadis dan meninggal di jalan. Belakangan diketahui kepala desa berada di balik tindakan pembunuhan tersebut. Situasi ini menggambarkan bahwa pemerintah desa kadang menggunakan cara-cara kekerasan untuk membungkam sifat dan keberanian warganya. Budaya kritis dan progresif pun kemudian menjadi terancam. Bagaimana warga desa bisa berkontribusi pada pengembangan budaya demokratis, egaliter sementera pemerintahan menggunakan budaya anti kritik demi dukungan mereka pada kapitalis dan pemilik modal?
Budaya desa
Budaya lahir dan tercipta sebagai hasil dialog pemikiran warga desa dengan kenyataan alam, kebutuhan, harapan, keyakinan dan gambaran bagaimana menggunakan kemampuan rasa dan karsa mereka menghadapi setiap persoalan. Budaya kemudian tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari warga desa yang kemudian mewujud dalam kegiatan-kegiatan budaya dan seni mereka baik yang dilaksanakan secara regular maupun dalam momen-moment tertentu saja.
Budaya juga mewujud dari cara warga desa berpikir, berperilaku, menyelesaikan masalah, membangun masyarakat, hingga Nampak dalam bentuk pakaian, cara mengutarakan pendapat, cara membangun rumah tinggal, tempat ibadah dan sebagainya.
Masyarakat juga menampakkan budaya yang mereka bangun melalui cara, system, symbol, ungkapan, hingga ritual yang secara konsisten mereka kerjakan dan mereka jaga kelestariannya. Masyarakat desa sebenarnya menggambarkan eksistensi dirinya, masyarakatnya, dan jati dirinya lewat budaya dan perilaku kesehariannya.
Di balik semua itu tersimpan substansi dan esensi seperti; pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, tradisi, kepercayaan, persepsi hingga manifestasi alam bawah sadar yang menjadi arah dari perilaku dan tindakan-tindakan keseharian mereka. Hal itu dipahami, dihayati, diyakini dan dijadikan landasan berpikir dan bekerja dan mengaktualisasikan diri mereka.
Pengetahuan mereka mengenai diri mereka dan alam sekitar dari waktu ke waktu membentuk pola berpikir dan pemaknaan warga desa atas diri dan alam tadi. Misalnya pemahaman mereka tentang sawah, tentang sungai, tentang hewan dan tumbuhan dan seterusnya. Kemudian warga jadi tahu bagaimana memposisikan diri dan memperlakukan semua itu baik dalam rangka menjawab rasa ingin tahu, memenuhi kebutuhan, berinteraksi dengan orang lain hingga mengaktualisasikan rasa senang dan kebutuhan untuk mengembangkan diri. Ini kemudian mengkristal menjadi pengetahuan.
Nilai juga menjadi aspek penting dalam substansi budaya warga desa. Ini mencakup nilai material, nilai vital dan nilai spiritual. Nilai material adalah bagaimana warga menghargai sesuatu dari aspek benda nya. Misal nilai batu kali yang berada di bawah nilai batu akik. Nilai kayu ukiran lebih tinggi dari kayu papan dari jenis yang sama dan seterusnya. Kemudian nilai vital berupa aspek penting dari peran, kegunaan dan fungi. Seperti HP atau smartphone, benda dengan berat tak lebih dari setengah kilo bisa jauh bernilai dari gabah sebanyak 1 kuintal misalnya, karena hp dipandang memiliki banyak fungsi dan teknologi dibandingkan dengan beras 1 kuintal.
Nilai lain yang penting adalah nilai spiritualitas. Di sana ada aspek religiusitas, estetika dan moral. Bahkan termasuk di sana ada solidaritas, toleransi, keadilan, keberpihakan pada kaum lemah, menghormati keberagaman, dan lain sebagainya.
Warga desa umumnya menjunjung nilai religiusitas, dan diwujudkan dengan masih sering digelarnya kegiatan-kegiatan keagamaan dan menyisipkan kegiatan keagamaan dalam kegiatan social. Dalam beberapa tahapan lain hal ini mewujud dalam penggunaan istilah-istilah keagamaan dalam kontek yang lebih umum, mengenakan pakaian tertentu yang menjadi symbol ketaatan pada agama yang dianutnya, dan lain sebagainya.
Warga desa juga memiliki nilai estetika yang cukup tinggi. Hal ini diwujudkan dalam pemilihan ornament rumah, pemilihan bentuk rumah, pakaian adat, dan lain sebagainya.
Aspek moralitas juga menjadi esensi dari pembentukan budaya warga desa. Hal ini mengembang dan mewujud dalam budaya gotong royong, sambatan, gugur gunung, saling berbagi informasi dari mulut ke mulut dengan cepat, sumbang jurung, dan sebagainya. Budaya peduli, perhatian dan saling mengenal juga merupakan bagian dari aspek moralitas. Bagaimana kita tahu warga dalam satu desa hamper semua saling mengenal bahkan dari RT dan RW lain. Warga juga hampir hafal semua kepemilikan lahan yang ada di desanya. Budaya seperti ini merupakan potensi dari desa yang tidak dimiliki warga kota yang cuek./jb
gambar: website desa Seling, Kebumen
0 komentar :
Posting Komentar