Pentingnya Membangun Gerakan Perempuan yang Berwatak Demokratis Nasional

Oleh Ruth Murtiasih Subodro

Keadaan Umum Kaum Perempuan Indonesia
 
Jumlah perempuan Indonesia hari ini diperkirakan lebih kurang 49,7% dari 237.641.326 total penduduk. Dari jumlah ini, kaum tani diperkirakan berjumlah 70% dari total penduduk atau lebih dari 150 juta jiwa. Paling tidak 56,52% di antaranya adalah tani gurem atau kaum tani yang mengolah tanah kurang dari 0,25 ha. Dari jumlah tersebut kaum perempuan merupakan bagian penduduk yang terbesar di pedesaan, yaitu sekitar 58%.

Perempuan pedesaan secara umum adalah perempuan keluarga tani dengan kepemilikan dan penguasaan lahan yang sempit (petani gurem), petani penggarap dan buruh tani. Senasib dengan laki-laki suaminya, perempuan buruh tani, perempuan petani penggarap biasanya juga berpasangan atau berasal dari keluarga kelas petani buruh dan penggarap. Namun demikian tidak bagi laki-laki, perempuan miskin pedesaan, masih menanggung akibat budaya patriarki feodal yang masih kental melekat di kalangan masyarakat pedesaan, misalnya karena hukum waris kaum perempuan mendapatkan lebih sedikit bagian warisan dibanding kaum lelaki, seperti di Jawa terkenal dengan sak pikul sak gendongan. Sak pikul hak waris untuk laki-laki dan Sak Gendongan hak waris untuk perempuan.

Kondisi ini bukan berarti bahwa peran perempuan dalam produksi pertanian di pedesaan juga disingkirkan. Sebaliknya kaum perempuan pedesaan secara faktual merupakan jumlah yang terbesar yang menyumbang proses produksi, khususnya di sektor pertanian dan perkebunan. Para perempuan ini mayoritas bekerja sebagai buruh tani dan buruh kebun.

Meski terjadi demikian era kebijakan Revolusi Hijau, kebijakan pertanian yang hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas, tetapi abai terhadap soal-soal ekonomi, politik, sosial petani termasuk perempuan, apalagi keberlanjutnan lingkungan pertanian. Kebijakan pertanian revolusi hijau yang masih berjalan hingga sekarang telah banyak mengambil ruang kerja yang dulu dijalankan perempuan, mulai dari penyiapan produksi (benih, bibit, pupuk dan obat-obatan), juga proses pemanenan dan pengolahan.

Benih, pupuk dan pestisida diambil paksa oleh perusahaan-perusahaan besar penyedia input produksi seperti Monzanto, Zingenta dll. Sementara proses panen telah diambil peran dengan mekanisasi pertania dengan tehnologi mesin. Sedangkan aspek pengolahan hasil-hasil pertanian menjadi tidak memungkinkan lagi karena pertanian yang selalu merugi, sehingga acap kali petani harus menjual dengan sistem Ijon dan tebasan (dijual langsung dilahan).

Lebih lanjut dalam partisipasi produksi ini, kaum perempuan juga mengalami diskriminasi. Khususnya dalam masalah pengupahan, yang selalu diberikan upah jauh lebih rendah dari kaum lelaki untuk pekerjaan yang sama. Diskriminasi pengupahan ini tidak hanya dialami oleh kalangan perempuan pedesaan. Secara umum di pedesaan maupun di perkotaan laki-laki memperoleh upah sekitar 30 - 40% lebih tinggi dibanding perempuan.

Bila untuk pekerjaan upahan perempuan mengalami diskriminasi dan tertinggal, keadaan sebaliknya untuk menghadapi kesukaran hidup. Pada rumah tangga miskin di perkotaan maupun di desa, perempuan tidak hanya bertanggung jawab pada pengelolaan rumah tangga/pekerjaan domestik saja, tetapi harus membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pembagian rumah tangga dalam lima kelompok berdasarkan pengeluaran per kapita, ada korelasi yang menunjukkan bahwa semakin sejahtera sebuah rumah tangga makin rendah persentase perempuan yang terlibat dalam pasar kerja. Dan sebaliknya, makin miskin sebuah rumah tangga maka partisipasi perempuan masuk dalam pasar kerja semakin tinggi.

Saat ini sekitar 60% dari total perempuan Indonesia dipaksa menjadi tulang punggung ekonomi keluarga mereka.Mayoritas perempuan pedesaan adalah perempuan yang terlibat dalam pertanian meski sebagai buruh tani dan petani penggarap. Bagi yang perempuan yang tidak mendapatkan kesempatan lapangan kerja pada pertanian on farm biasanya mengembangkan sumber-sumber perekonomian lain, seperti warungan, candak kulak, home industri pengolahan pangan, kerajianan dll.

Akan tetapi tidak semua perempuan pedesaan dapat membuka lapangan kerja bagi dirinya sendiri, sementara negara tidak pernah menyediakan cukup lapangan pekerjaan layak bagi seluruh tenaga produktif yang ada di negeri ini. Pada titik ini kaum perempuan memiliki peluang yang lebih besar untuk mengakses pekerjaan tertentu, dari pada laki-laki. Yaitu antara lain dengan menjadi buruh yang dibayar murah di kantong-kantong industri maupun menjadi pekerja di sektor rumah tangga. Kita dapat melihat bahwa mayoritas buruh dalam industri di Indonesia adalah kaum perempuan, di sini mereka dibayar murah, tidak diberikan hak cuti haid dan melahirkan, selain banyak juga yang tidak mendapatkan tunjangan bagi keluarganya yang sebenarnya merupakan hak bagi buruh. Khususnya dengan pemberlakuan sistem buruh kontrak saat ini, kian merugikan bagi perempuan buruh.

Misalnya kewajiban pengusaha untuk memberikan cuti dan tunjangan melahirkan bagi perempuan buruh yang sedang hamil, dengan pemberlakuan sistem kontrak maka para perempuan buruh yang hamil kebanyakan di-PHK sebelum waktu mereka melahirkan dengan alasan sudah habis kontrak. Ini hanya menjadi alasan bagi pengusaha agar mereka dapat mangkir dari kewajibannya untuk memenuhi hak-hak sosial ekonomi para buruhnya, khususnya perempuan buruh yang hari ini menjadi mayoritas di dunia industri di Indonesia.

Bagi perempuan pedesaan yang tidak tertampung di sektor pertanian di desa, juga tidak bisa bersaing dalam sektor industri dan pekerja rumah tangga perkotaan, mereka dipaksa secara tidak langsung oleh negara untuk pergi mencari kerja di luar negeri sebagai tenaga kerja wanita. Lagi-lagi perempuan-perempuan ini umumnya hanya bekerja sebagai pekerja rumah tangga dengan pengetahuan dan ketrampilan yang terbatas . Secara umum kondisi buruh migran Indonesia kita di Luar Negeri memprihatinkan, Mereka kerap kali diperas dan dihisap habis-habisan baik oleh majikan, agen, PJTKI bahkan Pemerintah Indonesia itu sendiri.

Melalui Program Pengiriman TKI keluar Negeri, Pemerintah menetapkan target berapa dan kemana rakyat Indonesia akan diekspor dengan tujuan supaya menghasilkan devisa sebesar-besarnya. Demi kelancaran, Pemerintah menciptakan dan mengesahkan Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Keluar Negeri (UUPPTKILN) yang intinya memberi keleluasaan kepada PJTKI dan agen luar negeri dalam menangani pengiriman buruh migran. Bahkan bagi pengirim terbanyak akan diberi penghargaan khusus. Sistem lepas tangan inilah yang menyebabkan buruh migran terlunta-lunta dan mengalami berbagai macam kekerasan eksploitasi baik sebelum berangkat, ketika di luar negeri maupun setelah kembali ke Indonesia.

Selanjutnya beberapa perempuan terjebak dalam lingkaran setan perdagangan perempuan dan bisnis pelacuran. Setiap bulan rata-rata 30 perempuan Indonesia berusia 15-25 tahun menjadi korban perdagangan perempuan (traficking) di berbagai wilayah di Malaysia. Rata-rata mereka dijebak dan diiming-imingi kerja menjadi pelayan toko. Mayoritas dari para perempuan ini berasal dari desa dan tersingkir dari partisipasi produksi di pedesaan. Tidak tersedia cukup lahan dan lapangan kerja yang layak bagi mereka di desa, sehingga pergi ke kota atau ke luar negeri merupakan pilihan yang harus diambil.

Berdasarkan pemaparan di atas jelaslah bagi kita bahwa kaum perempuan Indonesia, mayoritas adalah perempuan kelas pekerja, terutama sektor pertanian di pedesaan, sektor industri di perkotaan dan tenaga kerja unskill di luar negeri. Sejatinya mereka mengalami akar penghisapan feodalisme, karena tidak memiliki akses dan kuasa terhadap alat produksi paling pokok yaitu tanah. Berpangkal dari hal inilah sesungguhnya struktur ekonomi masyarakat kita terutama petani termasuk perempuan sangat rapuh karena tidak memiliki alat produksi tanah.

Selanjutnya mereka juga mengalami penindasan imperialisme atau kapitalisme bentuk baru, dimana peran dominan perempuan dalam bidang pertanian dari hulu – hilir telah banyak diambil oleh perusahaan – perusahaan besar penyedia benih, pupuk dan pestisida. Dimikian juga dirantai hilir aspek-aspek pengolahan, pemasaran dan konsumsi yang biasaya diperankan perempuan sekarang telah diambil alih oleh perusahaan raksasa yang memproduksi makanan masal dengan model pemasaran retail yang bahkan telah merambah ke wilayah-wilayah sub kota bahkan wilayah pedesaan.

Kemiskinan menjadi pokok permasalahan kaum perempuan di Indonesia. Kemiskinan tersebut tidak lain lahir dari ketimpangan struktur penguasaan sumber-sumber agraria dan skema industri yang pro modal asing yang berlangsung di negeri ini. Keadaan ini menegaskan bahwa Indonesia adalah negara setengah jajahan dan setengah feodal. Pemerintah Indonesia sejak era orde baru sampai SBY-Boediono saat ini adalah rejim boneka yang berfungsi untuk melayani kepentingan majikannya, yaitu para pemilik modal asing.

Hal ini terlihat dari berbagai skema ekonomi politik yang dijalankan, juga berbagai perundang-undangan yang dibuat oleh negara, yang sama sekali tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Juga pada kaum perempuan pekerja. Sementara akibat penghisapan setengah feodal, kaum perempuan juga mengalami penindasan oleh hubungan patriarki di berbagai lapangan kehidupan yang menyebabkan penindasan terhadap kaum perempuan Indonesia menjadi berlipat-ganda sifat dan bentuknya. Karena budaya patriarkhi perempuan pekerja menghadapi derajat penindasan yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki.

Kemiskinan yang ditimbulkan sebagai akibat penghisapan oleh imperialisme dan feodalisme juga telah membuat kualitas hidup mayoritas kaum perempuan di negeri ini sangat rendah. Hal ini salah satunya dapat terlihat dari tingginya angka kematian ibu melahirkan di Indonesia. Angka paling tinggi tercatat di Papua, di ikuti oleh Maluku dan Jawa Barat. Kemiskinan membuat banyak keluarga miskin di Indonesia menempatkan masalah kesehatan sebagai prioritas yang paling belakang. Selain juga karena negara tidak menyediakan fasilitas kesehatan layak dan terjangkau bagi rakyat.

Sementara itu dalam hal kebudayaan, khususnya dalam dunia pendidikan kaum perempuan juga mengalami diskriminasi dan ketertinggalan. Untuk tingkat SLTA, persentase perempuan yang mengenyam pendidikan pada jenjang tersebut hanya mencapai 12,4%, lebih rendah dari laki-laki yang mencapai 16,9%. Hal serupa juga terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu tingkat akademi dan S1 hingga S3. Untuk tingkat akademi dan S1-S3, persentase perempuan yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi ialah 2,8%, lebih rendah dari laki-laki yang mencapai 3,7%.

Menjawab setumpuk persoalan di atas, berbagai inisiatif untuk melakukan perlawanan dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai sesuatu yang keluar dari kodrat sebagai perempuan yang seharusnya tunduk dan patuh. Sementara beberapa upaya yang mencoba membangkitkan perlawan kaum perempuan ini juga tidak tepat, yaitu dengan menyalahkan laki-laki sebagai akar masalah kaum perempuan Indonesia. Kondisi ini pada hakekatnya tidak menyelesaikan permasalahan pokok kaum perempuan Indonesia, dan hanya akan melemahkan perlawanan rakyat seluruhnya melawan penghisapan imperialisme dan feodalisme.

Gerakan Massa Perempuan Demokratis Nasional Adalah Jawaban Objektif

Maka, menjadi momentum penting kita membuka kisah perjuangan perempuan di setiap bulan Maret. Seabad silam, dalam sebuah Konferensi Internasional Pekerja Perempuan tahun 1910, Clara Zetkin, salah seorang pemimpin Partai Sosial Demokrat Jerman, mengusulkan ide Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day). Sejak tahun 1913, hari tersebut dirayakan setiap tanggal 8 Maret. Hari Perempuan Internasional penting terus dirayakan setiap tahun untuk ‘memperingati’ atau ‘mengingatkan’ bahwa kendati gerakan perempuan sudah melahirkan berbagai program untuk pemenuhan kesetaraan dan hak-hak asasi perempuan, kenyataan secara umum dilapangan perempuan masih menghadapi persoalan – persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Bahkan dengan derajat persolan yang kian meningkat.

Sekali lagi dapat kita tegaskan bahwa Indonesia hari ini adalah negara setengah jajahan dan setengah feodal yang di dominasi oleh imperialisme asing dan berlangsungnya produksi feodal secara luas melalui kaki tangan imperialis di dalam negeri, yaitu aparatus negara dan swasta yang menjadi tuan tanah, komprador dan kapitalis birokrat. Tiga pihak ini merupakan musuh pokok rakyat Indonesia secara keseluruhan, termasuk juga bagi kaum perempuan. Oleh karena itu hal pertama yang harus dilakukan adalah menghancurkan tatanan produksi feodalisme, dan merombaknya menjadi sistem yang lebih demokratis.

Selain itu pada saat yang sama kaum perempuan Indonesia juga harus melawan penghisapan imperialisme, karena saat ini kaum perempuan pekerja merupakan bagian mayoritas yang mengalami penghisapan tersebut. Dalam hal ini perjuangan yang bersifat Nasional anti Imperialisme juga harus dilancarkan. Inilah arti penting perjuangan demokratis-nasional atau demokratis melawan feodalisme dan nasional melawan imperialisme.

Karena permasalahan pokok dari praktek penghisapan feodal dan imperialisme adalah masalah ketimpangan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria sebagai landasannya, maka jalan utama menuju perubahan adalah melakukan demokratisasi dalam hal pengelolaan tanah dan sumber agraria di pedesaan, atau yang biasa kita kenal dengan sebutan "reforma agraria" atau "pembaruan agraria". Secara definisi, yang dimaksud dengan reforma agraria adalah upaya melakukan perombakan struktur agraria dengan cara menghapuskan kepemilikan monopoli atas tanah dan sumber-sumber agraria serta mendistribusikan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya kepada petani penggarap, baik laki-laki maupun perempuan. Yang dimaksud sebagai sumber-sumber agraria adalah, tanah, air dan udara, dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Jadi minyak dan bahan tambang yang ada di dalam tanah dan air juga termasuk sumber-sumber agraria.

Bagi kaum perempuan, reforma agraria memberi jaminan lebih konkret atas hak ekonomi dan hak politik. Artinya kaum perempuan memiliki basis yang memadai dalam hal partisipasi dan kontrol ekonomi maupun politik. Basis inilah yang akan menopang gerakan perempuan secara umum untuk menganulir segala bentuk diskriminasi, menghancurkan landasan budaya patriarkhi baik di lapangan politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Dalam konteks perjuangan perempuan, reforma agraria berupaya membongkar segala bentuk relasi yang diskriminatif.

Tidak ada lagi penguasaan monopoli akan menjadi landasan terselenggaranya demokrasi di pedesaan. Demokratisasi dalam relasi sosial akan menjadi antitesis bagi diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dengan demikian, tidak mungkin gerakan reforma agraria dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan kepentingan gerakan perempuan. Gerakan perempuan pun sudah selayaknya terlibat aktif dalam gerakan reforma agraria. Keduanya merupakan prasyarat yang masing-masing saling terkait dan tidak bisa dpisahkan.

Namun demikian kaum perempuan Indonesia tidak dapat melakukan perjuangan pembebasan ini hanya dengan kekuatannya sendiri saja. Karena masalah ketimpangan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria juga menjadi akar dari berbagai masalah ketertindasan yang dialami oleh rakyat Indonesia seluruhnya. Dan yang mengalami penindasan dan penghisapan oleh imperialisme dan feodalisme bukan hanya kaum perempuan saja, melainkan seluruh rakyat indonesia, khususnya rakyat dari kalangan kaum tani dan klas buruh. Dan sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa kaum perempuan merupakan bagian terbesar dari lapisan kaum tani dan klas buruh, maka penting bagi kaum perempuan Indonesia untuk menjadi bagian dari kekuatan pokok perjuangan rakyat tersebut. Atau dengan kata lain dalam melakukan perjuangan untuk pembebasan, maka kaum perempuan Indonesia harus bersama-sama dengan kaum tani, klas buruh dan rakyat Indonesia yang terhisap dan tertindas lainnya.

Dengan demikian satu-satunya jalan bagi kaum perempuan, dan rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari penindasan dan penghisapan imperialisme dan feodalisme adalah dengan melakukan gerakan pembebasan demokratis nasional. Disinilah letak perbedaan mendasar gerakan massa perempuan yang berwatak demokratis nasional dengan gerakan perempuan lainnya yang berwatak liberal yang hanya memperjuangkan kepentingan individu-kolektif perempuan semata, dan yang konservatif bentukan pemerintah yang justru mematikan kesadaran politik perempuan.

Pembebasan demokratis nasional artinya adalah pembebasan yang berkarakter nasional, yang pada dasarnya untuk mewujudkan kedaulatan nasional bangsa Indonesia melawan imperialisme yang di dominasi AS. Serta berkarakter demokratis, yang berarti sebagian besar massa rakyat Indonesia yaitu petani melawan feodalisme dalam negeri dan secara lebih luas untuk menegakkan hak-hak demokratis seluruh massa rakyat Indonesia melawan feodalisme. Namun perjuangan ini hanya dapat dilakukan melalui cara yang tepat, yaitu dengan membangkitkan gerakan massa perempuan yang berwatak demokratis nasional.

Peringatan Hari Perempuan Internasional yang kita peringati hari ini hendaknya menjadi momentum bagi kaum perempuan untuk terus meningkatkan kesadaran, menumbuhkan keberanian dan tekun membangun organisasi perempuan yang progresif sebagai wadah perjuangan kaum perempuan.


[1] Disampaikan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional/International Women’s Day, 8 Maret 2013
[2] Ketua Umum Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) Jawa Tengah
 
Editor : Edy Susanto
SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar