Energi Strategis Persembahan Buruh Tani


Oleh : Ruth MS.

Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) kembali mempersembahkan terobosan strategis di bidang energi alternatif yang ramah lingkungan. SPPQT, yang sebagian besar anggotanya terdiri dari belasan ribu keluarga buruh tani ini, meluncurkan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) Banyubiru dengan kapasitas 170 KVA, cukup untuk kebutuhan penerangan sekitar 400 rumahtangga petani.

Sejak awal berdirinya, SPPQT yang sekarang berakar di sepuluh kabupaten di Jawa Tengah ini telah merintis strategi energi alternatif lain, yaitu pengembangan biogas digester skala rumah tangga, disingkat menjadi Biru. Di samping merupakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, digester ini sekaligus juga menjadi ‘pabrik pupuk’ murah untuk keluarga petani. Sampai saat ini telah tersebar sekitar 300 unit Biru di sejumlah kabupaten tempat bernafasnya keluarga tani SPPQT, mulai dari Batang sampai Cilacap, dari Rembang sampai Sragen.

Kedua jenis sumber energi alnernatif itu merupakan jawaban SPPQT terhadap krisis energi nasional yang dewasa ini mencuat menjadi hiruk pikuk politik yang membenturkan warga masyarakat dengan pemerintah. Selama ini Indonesia terlalu menggantungkan diri pada sumber energi konvensional, yaitu fosil seperti minyak bumi yang tidak terbarukan dan tidak ramah lingkungan. Semua pihak sadar bahwa produksi minyak bumi domestik sudah bertahun-tahun tidak mencukupi kebutuhan sehingga perlu impor. Semua pihak juga sadar bahwa jumlah impor minyak bumi Indonesia dari tahun ke tahun meningkat terus. Semua pihak juga tidak buta pada kenyataan bahwa harga minyak bumi dunia meningkat terus di luar kendali Indonesia.

Tetapi seluruh hiruk pikuk politik itu tidak juga menyentuh upaya untuk mengembangkan strategi energi alternatif. Padahal alam Indonesia sesungguhnya kaya akan sumber-sumber energi alternatif di luar fosil. Tidak sedikit air mengalir yang dapat diubah menjadi sumber energi alternatif, begitu pula panas (baik panas bumi maupun surya), belum lagi angin, kotoran/limbah dan sebagainya.

Sejak awal pendiriannya, SPPQT menempatkan energi alternatif sebagai salah satu program pokok pemberdayaan petani. PLTMH Banyubiru adalah karya mutakhir SPPQT yang memanfaatkan aliran air, energi alternatif yang terbarukan sekaligus ramah lingkungan. Kontrak kerjasama dengan PLN Jateng-DIY telah ditandatangani. Lewat kontrak ini PLN membeli listrik PLTMH Banyubiru dengan harga Rp. 600 per KWH. Dengan demikian, SPPQT akan menerima bersih sekitar Rp 50 juta setiap bulan. Seperempat penerimaan itu diperuntukkan Paguyuban Petani serta warga setempat (desa Kebumen). Sisanya untuk gerak organisasi SPPQT serta pengembangan PLTMH di lokasi-lokasi lain.

SPPQT sudah melakukan survey di sejumlah wilayah di Jawa Tengah untuk mencari titik-titik yang potensial untuk pembangunan PLTMH. Di antaranya telah dilakukan pemetaan yang lebih kongkrit di beberapa kawasan seperti Wonosobo, Semarang, Temanggung, Magelang, Kendal dan Batang. Dari sejumlah titik itu diperkirakan tidak kurang dari 10 (sepuluh) MVA listrik dapat dihasilkan, semuanya dari energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan. Energi bersih yang benar-benar pro rakyat.

Ada keuntungan lain juga. Karena menurut Protokol Kyoto, PLTMH termasuk kategori usaha yang menurunkan emisi gas rumah kaca, Indonesia dapat menjual Certified Emission Reduction ke negara maju. Untuk setiap 5000 unit PLTMH, nilainya adalah enam juta dollar AS per tahun. Dana itu dapat digunakan untuk membangun lebih banyak PLTMH lagi, mengingat alam Indonesia memiliki ribuan sungai. Ribuan desa akan lebih sejahtera, Jika setiap unit PLTMH dapat menghasilkan sekitar 150 KVA saja, PLN akan mendapat tambahan pasokan listrik sebanyak 750 MVA! Sekaligus dengan itu akan tertampung pula sekitar 30.000 tenaga kerja yang tinggal di pedesaan mengoperasikan ribuan pembangkit listrik tersebut.

Antara lain dengan alur pikir seperti itulah SPPQT belasan tahun silam merintis pengembangan Biru, biogas digester skala rumahtangga, terobosan sumber energi alternatif yang mudah dikerjakan dengan biaya yang relatif murah untuk ukuran desa pertanian. Pemamah kotoran ternak (- dan manusia juga) ini dapat dibangun dengan biaya murah, dan tidak memerlukan biaya operasional. Hasilnya bukan hanya biogas yang dapat dimanfaatkan untuk memasak maupun keperluan penerangan rumah tangga, melainkan juga limbahnya berupa slurry (campuran kental) yang mudah dikeringkan menjadi pupuk kandang (organik!) tak-berbau.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seekor sapi setiap hari menghasilkan sekitar 12,5 – 17,5 kg kotoran. Setiap kilogram kotoran sapi dapat menghasilkan sekitar 45 liter biogas sekaligus sekitar empat ons pupuk organik. Satu unit Biru ukuran 18 m3 yang menampung kotoran sekitar 10 ekor sapi di desa, setiap hari dapat menghasilkan biogas setara enam liter minyak tanah plus sekitar 60 kg pupuk kandang organik. Untuk rumah tangga petani, jumlah tersebut sangatlah berarti.

Ada keuntungan lain lagi untuk lingkungan hidup. Sangat berbeda dari pembakaran BBM yang menghasilkan gas karbon dioksida yang menimbulkan polusi serta pemanasan global, pembakaran biogas ini menghasilkan gas yang justru sebaliknya: mengurangi emisi gas rumah kaca! Belum lagi sejumlah keuntungan lain: mengurangi biaya subsidi negara untuk energi pedesaan, mengurangi biaya rumahtangga petani untuk penerangan maupun memasak, meningkatkan produksi pupuk organik yang jauh lebih sehat daripada pupuk kimiawi, dst-dstnya.

Keterbatasan kemampuan SPPQT menyebabkan sejauh ini baru berhasil dibangun sekitar 300 unit Biru. Namun demikian SPPQT dengan segala daya merencanakan dapat membangun sekitar 200 unit lagi dalam satu-dua tahun mendatang.

SPPQT berkeyakinan bahwa strategi pengembangan PLTMH dan biogas digester ini sepatutnya menjadi gerakan nasional, menjadi prioritas pembangunan sumber-sumber energi alternatif. Bersih dan ramah lingkungan, mandiri di bidang energi alternatif, membangun keberdayaan rakyat!





SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar