Asal-usul Pembagian Kerja Perempuan dan Laki-laki

Oleh : Arif Burhan
 
Fakta sosial di masyarakat tentang adanya pembagian kerja secara seksual, sebenarnya belum tentu menjadi relasi eksploitatif. Adakalanya peran sosial perempuan dan laki-laki dalam pembagian kerja secara seksual merupakan sesuatu yang fungsional. Argumen yang melihat perempuan harus dilindungi dan lebih penting untuk di rumah pada masa lalu karena dapat melahirkan keturunan misalnya, tidak dapat dianggap sesuatu yang bias.
Yang perlu ditandaskan sejak awal dari perjuangan feminisme itu muncul ialah, alasan jika laki-laki sebagai pihak yang teruntungkan dan perempuan menjadi korban. Alasan inilah kenapa kemudian pembagian kerja secara seksual disoal luas oleh kalangan feminis yang terbagi dalam beberapa mazhab. Argumen bio-psikologis oleh kalangan feminis ditentang sebagai rekayasa patriarkis. Lebih jauh baik feminis liberal, radikal maupun sosialis, dll. meskipun berbeda-beda dalam menjelaskan sebab, arah tujuan dan strategi gerakan, masing-masing bersepakat bahwasanya patriarkisme sebagai sebuah konstruksi budaya yang menempatkan laki-laki di ruang publik dan perempuan di ranah privat wajib dirubah untuk menciptakan hubungan yang adil.       
Source : image  
Asal-usul Pembagian Kerja Secara Seksual
Pembagian kerja secara seksual adalah lembaga kemasyarakatan yang terkuat dan tertua dalam peradaban manusia. Jenis kelamin telah menjadi dalil yang melegitimasi peran yang wajib diambil seorang individu dalam masyarakat. Peran perempuan biasanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kerumahtanggan atau sektor konsumsi. Sementara itu laki-laki berperan dalam sektor-sektor produksi di luar rumah. 
Perihal asal-usul pembagian kerja secara seksual ini dalam bukunya yang terkenal berjudul, "The Origin of the Family, Private Property and The State", Engels secara tidak langsung berbicara tentang hubungan antara bentuk masyarakat dan bentuk keluarga. Berbeda dengan kaum fungsionalis yang melihat bentuk keluarga inti sebagai universal dalam arti ada di segala tempat dan waktu. Menurut Engels bentuk keluarga itu tergantung pada bentuk masyarakat. [1]
Berburu dan Meramu
Epistemologi Engels ini sangat terdeterminasi dari bagaimana corak produksi ekonomi yang dilakukan dalam sebuah masyarakat. Pada masyarakat berburu dan meramu dimana kepemilikan pribadi belum diakui, wanita di rumah dan laki-laki di luar rumah merupakan kewajaran. Pada masa berburu dan meramu ini memang telah ada alat-alat untuk berburu dan meramu, namun alat tersebut tidak dimiliki secara pribadi melainkan milik klan/marga. Alat-alat berburu dan meramu ini akan dimusnahkan, atau tidak diwariskan kepada anak setelah si lelaki meninggal.  
Pertanian dan Peternakan
 Engels menyebut sistem produksi pertanian dengan barbarisme rendah. Pada masa ini tanah sangat dihargai, dan dari tanah inilah kemudian hak milik dan kekayaan pribadi sangat mungkin dilakukan oleh laki-laki. Perempuan atau laki-laki mungkin memiliki satu atau lebih suami atau isteri. Di sini muncul kewenangan seorang ibu untuk mengatur perkawinan anak-anaknya, juga pertimbangan yang diambil adalah penguatan posisi pasangan tersebut di dalam marganya. Seorang ibu mempertimbangkan apakah seorang calon memiliki cukup harta dan apakah sesudah perkawinan posisinya di masyarakat bisa jadi lebih kuat.
Dengen bertambahnya kekayaan yang bisa dikumpulkan, posisi laki-laki jadi lebih penting daripada perempuan. Meskipun pada awalnya sistem garis pewarisan ini mengikuti garis matrilokal, kemudian berkembang inisiatif laki-laki membentuk sistem patriarkal dengan mengubah sistem pewarisan kekayaan agar menguntungkan anak-anaknya. Sejak masa inilah wanita menjadi budak saja dari keserakahan laki-laki, menjadi mesin/budak pembuat anak saja. Walaupun mengakui ada garis matrilineal [2], Engels tidak bersepakat akan pernah terjadinya suatu matriarkal dimana perempuan berkuasa. menamakan ini sebagai, "kekalahan terbesar wanita dalam sejarah umat manusia". (Engels, 1973:120).
Di Indonesia misalnya, kita dapati banyak suku berikut kebudayaan dengan pola pembagian kerja secara seksual yang bervariasi. Pada suku Jawa di mana sistem patriarkhi-feodal-agrikultur masih menjadi corak produksi utama, perempuan lebih banyak berkutat pada sektor domestik rumahan. Akibatnya, menjadi canggung kemudian saat seorang perempuan berusaha keluar ke sektor publik. Dan sayangnya, dari sistem patriarkhi Jawa yang mana merupakan suku mayoritas di Indonesia ini, kemudian seperti menjadi cermin bagaimana pola pembagian kerja secara seksual di skup nasional diterapkan.

Industri dan Mesin
Baik pada tahap primitif maupun modern dapat kita dapati gejala sosial pembagian kerja secara seksual ini ada. Untuk memahami ini saya ingin mengutip perkataan Collin Wilson bahwa, 
"The politics of sexuality can only be understood in a wider context: that of the world economic and political system which Marxist call imperialism. Imperialism has always involved sexual exploitation as well as economic and political subordination". [3]
Dalam konteks kekinian kehidupan wanita berputar di sekitar rumah tangga. Tujuan seorang wanita hidup seakan-akan hanya untuk menikah dan membentuk keluarga. Setelah berumah tangga, wanita jadi tergantung secara ekonomis, karena di rumah tangga tidak menghasilkan gaji. Joh Stuart Mill seorang filsuf asal Inggris dalam esei berjudul The Subjection of Women,  berpendapat bahwa yang disebut sebagai sifat kewanitaan adalah hasil pemupukan masyarakat melalui sistem pendidikan. Dia percaya bahwa diferensiasi sosial atas kelamin laki-laki perempuana dalah tindakan politik yang direncanakan. Laki-laki selalu mengukur kekuatannya sebagai sesuatu yang alamiah. Mill melanjutkan bahwa nasib pembagian kerja secara seksual ini lebih buruk daripada budak. Budak hanya memberikan pelayanan, tapi perempuan tidak hanya memberikan pelayanan secara lahir saja, melainkan juga batin dengan memberikan segenap cinta. Lelaki tidak hanya mengingini perempuan sebagai 'budak yang terpaksa, melainkan sukarela'. Laki-laki menginginkan wanita menjadi budak budak yang mencintai majikannya dengan segenap hati.
Dan dalam konteks masyarakat kekinian dimana modal berkuasa atas tenaga kerja yang diupah/ kapitalis. Ada faktor-faktor yang mendukung kenapa pembagian kerja secara seksual penting untuk dipertahankan oleh kapitalisme. Sektor rumah tangga akan menjadi daerah dimana seorang laki-laki melakukan eskapisme dari keterasingan dan persaingan karena sesuatu dinilai dari nilai tukarnya di pasar. Dan disinilah vicious cyrcle pembagian kerja secara seksual menjadi faktor penting pembagian kerja secara seksual dalam masyarakat kapitalis perlu diperkuat dan dipertahankan. Laki-laki industri membutuhkan tempat pelarian dalam keluarga inti, sementara itu perempuan jatuh dalam perkawinan untuk mencari selamat baik secara ekonomis dan psikologis.    
Kesimpulan 
Kita menginginkan masyarakat baru berdasar persamarataan. Eksploitasi atas separuh penduduk dibumi sudah saatnya untuk dilenyapkan. Masalah apakah ini terjadi karena ada faktor ekonomi (kapitalisme) atau ideologis (patriarkhi) harus dicarikan pemecahannya pada praktik. Masalah faktor kenapa pembagian kerja ini ada, berubah sangat tergantung pada bentuk masyarakatnya. Perubahan faktor seperti diungkapkan Riedl, karena perempuan lebih penting secara biologis, saat ini bisa jadi sudah tidak berlaku karena seiring transisi dari feodal ke industri dengan ditemukannya teknologi, rekayasa biologis bisa dilakukan. Bisa jadi, dalam kapitalisme faktor karena laki-laki diuntungkan lebih masuk akal. Dan sebagai bangsa yang ingin besar, kita harus mulai memikirkan untuk membebaskan pembagian kerja secara seksual yang membelenggu wanita Indonesia ini, dengan terjun mengidentifikasi faktor dan mencari solusi permasalahan ketidakadilan pembagian kerja secara seksual dalam praktik. Sebab hanya dengan keadilan dalam tatanan masyarakat inilah kita bisa bertahan sepanjang masa.
_______________
1] Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual. Gramedia, 1980, hal 19-20.
"Dengan mengutip hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Lewis Morgan, Engels menyimpulkan bahwa perkawinan kelompok terdapat pada masyarakat yang masih liar (savagery) ; perkawinan pasangan (satu orang lelaki memiliki satu orang pasangan wanita utama, ditambah isteri-isteri lain, dan seorang perempuan memiliki seorang suami ditambah suami-suami lainnya) ada pada masyarakat yang berlum beradab (barbarism). dan monogami (seorang laki-laki harus menikah dengan seorang wanita seumur hidupnya dan selama dia dalam ikatan lembaga pernikahan masing-masing harus setia kepada pasangannya) ada pada civilized society. "

2]  Menurut Engels paling jauh perempuan hanya menjalankan peran melalui paman, abang, atau anak laki-lakinya yang sudah dewasa. (Kathleen Gough, 1972. p.115)
3] International Socialist, April, Spring 2007, p.152

4] Saat menulis ini saya sedang membaca artikel menarik di internet tentang bagaimana kehidupan suku Tuareg di benua Afrika. Baca di sini Sepintas rasanya cukup aneh karena kaum laki-laki sangat lemah dengan kebebasan yang terbatas, namun apabila ditinjau lagi secara pembagian kerja secara seksual, posisi perempuan di Tuareg mewakili bagaimana corak barbarisme rendah.
SHARE
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar